Artikel Terbaru ke-2.093
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hari-hari ini, media sosial kita masih saja diwarnai dengan aneka perdebatan seputar masalah-masalah furu’iyyah. Ironisnya, perdebatan itu kemudian menyeret banyaknya orang ikut berkomentar, tanpa otoritas ilmu. Perdebatan semacam ini sebaiknya dilakukan secara terbatas dalam suasana ukhuwah, tanpa disertai rasa benci, curiga, atau perpecahan (tafarruq).
Kita bisa belajar dari sejarah, tentang cara Imam al-Ghazali menyelesaikan problematika perpecahan umat di zamannya. Ketika itu terjadi konflik dan kebencian antar mazhab yang sangat tajam dan parah. Sampai-sampai, terjadi saling fitnah dan konflik fisik antar tokoh dan pengikut mazhab.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya Haakadzaa Dhahara Jiilu Shalahuddin, mengutip pernyataan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wal al-Nihayah, yang mencatat bahwa diantara kehebatan Imam al-Ghazali adalah kesediaan sejumlah ulama berbagai mazhab untuk belajar kepadanya.
Itu termasuk ulama dari mazhab Hanbali. Padahal, sebelumnya, mereka tidak mengakui ada ulama yang lebih hebat dari mazhab mereka. Diantaranya adalah Abu al-Khaththab dan Ibnu ‘Aqil. Mereka sangat mengagumi kekuatan bicara dan ilmu al-Ghazali.
Menghadapi kondisi masyarakat yang kalah dari Pasukan Salib, ketidakpedulian penguasa, merebaknya penyakit perpecahan dan cinta dunia, maka Imam al-Ghazali mengembangkan metode dakwah “al-insihab wal-‘awdah’. Yakni, menarik diri sementara dari pergolakan sosial-politik untuk melakukan pembersihan diri (tazkiyyatun nafs), dan kemudian terjun ke masyarakat melakukan gerakan ishlah (amar ma’ruf nahi munkar). Berbagai mazhab dan kelompok dalam Islam kemudian bisa bekerjasama dalam perjuangan perbaikan masyarakat.
Usaha perbaikan umat itu dilakukan melalui pendidikan yang serius. Imam al-Ghazali mendirikan lembaga pendidikan yang bertujuan “melahirkan dokter” untuk menyembuhkan penyakit umat yang utama, yakni penyakit “cinta dunia”.
Dokter-dokter itulah para ulama yang bertugas menyembuhkan penyakit jiwa yang paling merusak itu. Masalahnya, ketika itu, justru banyak “dokter” yang terjangkit penyakit “cinta dunia”. Lebih parah lagi, para dokter yang salah itu memberikan obat yang salah pula, sehingga makin merusak masyarakat!
Kata al-Ghazali, “Kalau tidak mau memperbaiki keadaan maka janganlah merusak. Dan alangkah baiknya jika mereka itu diam dan tidak berbicara!”
Imam al-Ghazali menjelaskan ciri-ciri ulama yang bisa menjadi “dokter” bagi masyarakatnya. Diantaranya: (a) Tidak menjadikan dunia sebagai tujuan ilmunya (b) Fokusnya adalah pada ilmu-ilmu yang bermanfaat (c) Tidak cenderung pada kemewahan (d) Harus menjaga jarak dengan penguasa (e) Tidak tergesa-gesa mengeluarkan fatwa.
Lanjut baca,