ADIL TERHADAP DIRI, KELURAGA, DAN NEGARA

ADIL TERHADAP DIRI, KELURAGA, DAN NEGARA

Artikel ke- 1.810

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dalam ajaran Islam, peran negara (sulthan) sangat penting dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Ada sejumlah hukum Islam yang hanya boleh dijalankan oleh negara, seperti hukum potong tangan untuk pencuri, hukum rajam untuk pezina, dan hukum-hukum hudud lainnya. Jika hukum-hukum Islam itu dijalankan secara anarkis oleh tiap-tiap individu atau kelompok tentu akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Karena itulah, keberadaan sebuah negara yang mengatur pelaksanaan hukum-hukum Islam memang menjadi sebuah keharusan.

            Peran penting satu negara juga disadari oleh banyak agama dan juga ideologi-ideologi sekuler seperti kapitalisme atau komunisme.  Peran negara sangat penting untuk menunjang perkembangan suatu agama atau ideologi. Perkembangan agama Kristen tidak bisa dilepaskan dari peran Kaisar Romawi Konstantin dan Kaisar Theodosius. Sulit membayangkan, bagaimana nasib Kapitalisme, jika negara AS runtuh dan berantakan. 

Ada yang menyebut agama dan negara ibarat dua sisi mata uang.  Pentingnya peran negara juga bisa dilihat dari antusiasnya sejumlah aktivis  dakwah atau kaum minisionaris Kristen yang mengikuti proses pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Di AS, kaum Kristen fundamentalis Kristen menitipkan suaranya pada calon-calon Presiden tertentu, meskipun mereka mengecam praktik-praktik kenegaraan yang sekuler. Di Indonesia pun fenomena semacam ini lazim terjadi.

            Akan tetapi, umat Islam juga diajarkan agar bersikap adil terhadap negara. Jangan menempatkan peran negara di atas peran aqidah. Jangan menempatkan peran negara secara berlebihan, sehingga, seolah-olah Islam sudah tidak ada lagi, setelah tidak ada “negara Islam”. Yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah tiap-tiap Muslim berusaha menjadi orang yang bertaqwa secara maksimal; berusaha sekuat tenaga menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. 

Orang Muslim bisa menjadi taqwa, di mana saja dan kapan saja; baik ia hidup di dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam atau tidak. Orang Muslim di Indonesia bisa menjadi orang taqwa, baik di saat hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang kafir atau di bawah Kerajaan Demak.

Orang Muslim di Jakarta, InsyaAllah dan harus bisa menjadi taqwa, siapa pun yang memimpin Jakarta. Akan tetapi, tentu saja, jika pemimpinnya Muslim dan taqwa, mereka akan mendorong rakyatnya untuk menjadi taqwa. Jika pemimpin zalim dan kafir, tidak mungkin mereka akan menuntun rakyat ke arah jalan taqwa.

Jadi, yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat nanti adalah masalah iman dan amal ibadah seseorang. Karena itulah, kita patut mengevaluasi, apakah amal ibadah kita selama ini telah memberikan tambahan nilai yang signifikan bagi perbendaharaan amal baik kita di akhirat nanti? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang bangkrut (muflis) karena banyaknya amal baik kita yang terpaksa diberikan kepada orang lain, sebab semasa hidup di dunia, kita banyak menzalimi orang lain!

Sesama Muslim diwajibkan saling mengasihi, saling menasehati, bukan saling benci atau saling mencaci-maki.  Para dai sering berkhutbah, menyampaikan hadits Nabi, tidak beriman seorang diantara kamu, sampai ia mencintai apa yang baik untuk dirinya, juga baik untuk saudaranya. 

Lanjut baca,

ADIL TERHADAP DIRI, KELURAGA, DAN NEGARA (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait