Dipicu Inisiatif Donald Trump, Perundingan Fase Pertama Dinilai sebagai Titik Balik, Namun Tantangan Politik Internal Israel Masih Menjadi Ancaman Utama.
adianhusaini.id, Jakarta-- Isu penjajahan Israel atas Palestina terus menjadi sorotan internasional. Dalam perkembangan terbaru yang hangat, tercapai kesepakatan damai fase pertama antara Hamas dan Israel, didorong oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump serta pihak-pihak lain. Kesepakatan ini, yang dirilis salah satunya oleh media, merupakan rencana fase pertama dari 20 poin untuk mengakhiri perang.
Pasca-kesepakatan ini, dilaporkan pasukan Israel mulai ditarik dari Gaza, pengungsi Palestina kembali, bahkan azan kembali berkumandang di wilayah tersebut. Peristiwa ini memicu analisis mendalam dari Dr. Adian Husaini mengenai peta politik dan masa depan Palestina.
Dilema Solusi Dua Negara: Pengkhianatan atau Realitas?
Di tengah para aktivis dan ulama Islam, muncul pandangan bahwa mengakui Israel sebagai sebuah negara melalui mekanisme Two-State Solution (Solusi Dua Negara) adalah sebuah pengkhianatan terhadap umat Islam. Pandangan ini meyakini bahwa seluruh Palestina adalah milik umat Islam dan tidak boleh diserahkan kepada Israel (yang dimaksud adalah Yahudi Zionis). Oleh karena itu, solusi idealnya adalah One-State Solution (Solusi Satu Negara), di mana hanya ada negara Palestina dan Israel harus dihapuskan karena berstatus penjajah.
Namun, Dr. Adian Husaini menawarkan perspektif lain terkait diterimanya kesepakatan fase pertama ini oleh Hamas.
Eksistensi Hamas Diakui di Meja Diplomasi
Dari sudut pandang diplomasi, kemauan Israel untuk berunding dengan Hamas adalah hal yang menarik dan strategis. Faktanya, kesepakatan damai tahap pertama ditandatangani oleh Hamas, bukan hanya Otoritas Palestina (OP).
Dalam pandangan Dr. Adian, adanya kesepakatan damai ini pada dasarnya adalah pengakuan terhadap eksistensi Hamas. Hamas, yang kini diakui eksistensinya secara politik, bahkan ditempatkan "sejajar" dengan Israel. Hal ini adalah pencapaian signifikan, mengingat Hamas tetap eksis meskipun menghadapi gempuran senjata dahsyat dari Israel dan negara-negara pendukungnya selama dua tahun terakhir.
Secara idealis, Hamas tetap menyatakan penjajahan dan pendudukan Israel sebagai tidak sah. Namun, dalam kondisi tertekan, Hamas terpaksa menerima perundingan ini. Tindakan ini didorong oleh dukungan dan desakan dari negara-negara Islam seperti Qatar, Turki, Saudi, dan Mesir. Bantuan kemanusiaan terang-terangan (pangan dan obat-obatan) dari Indonesia juga turut berperan.
Politik Amerika yang Tidak Rasional dan Melemahnya Israel
Perundingan kali ini dianggap berbeda dengan sebelumnya karena adanya situasi internasional yang telah berubah secara drastis.
-
Politik AS yang Merugikan Diri Sendiri: Dr. Adian menyoroti politik AS terhadap Israel sebagai sesuatu yang "tidak rasional". Meskipun lobi Israel berhasil menekan setiap Presiden AS untuk menjalin hubungan "aliansi khusus" (special alliance), kebijakan ini dinilai merugikan kepentingan nasional AS sendiri—baik secara opini publik maupun ekonomi, karena besarnya bantuan yang diberikan. Bahkan, suara kritis muncul di kalangan Partai Republik yang mendukung Donald Trump, mempertanyakan keuntungan AS membantu Israel.
-
Pelemahan Posisi Global Israel: Posisi Israel semakin melemah di mata dunia internasional. Inggris, negara yang paling bertanggung jawab atas pendirian Israel pada 1917, kini telah mengakui Palestina. Dukungan untuk Palestina di AS menguat secara masif—suatu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya—terlihat dari dukungan di pemilihan walikota New York dan demonstrasi di kampus-kampus Amerika.
-
Netanyahu Terdesak: Donald Trump sendiri berada dalam kondisi terdesak, terutama setelah empat negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB mendukung pengakuan negara Palestina. Hal ini menekan Perdana Menteri Netanyahu hingga berada di posisi "terjepit". Bahkan, insiden Netanyahu harus meminta maaf kepada Qatar (negara yang dijamin AS) atas serangan Israel, menjadi momentum tekanan lanjutan. Akibat tekanan ini, Israel dinilai menandatangani kesepakatan damai ini secara "terpaksa" dan "tidak ikhlas" untuk mengikuti rencana Trump.
Prediksi Masa Depan: Palestina 1967 dan Ancaman Internal Israel
Dr. Adian Husaini menduga inisiatif Donald Trump ini akan berhasil, yang akan ditandai dengan berdirinya negara Palestina merdeka dengan pembagian wilayah berdasarkan perbatasan 1967. Prinsip kemerdekaan negara Palestina harus kembali ke wilayah 1967, karena PBB tidak mengesahkan pendudukan Israel atas occupied territory Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem.
Proses menuju kemerdekaan ini akan bertahap dan tidak instan. Fokus perundingan kini sudah bergerak maju, tidak hanya membahas penghentian perang, tetapi juga rencana pembangunan ulang Gaza. Kawasan Gaza, dengan luas 45 km², dianggap cukup luas untuk sebuah negara, jauh lebih besar dari negara terkecil dunia, Vatikan (0,49 km²). Peran besar dalam pembangunan dan kompromi ini diperkirakan datang dari Saudi, Turki, Qatar, Mesir, dan Indonesia.
Meskipun optimis karena adanya tekanan global (Inggris, Prancis, dan AS/Trump) yang dinilai kuat, Dr. Adian mengingatkan bahwa upaya perdamaian ini sangat rentan gagal karena politik internal Israel.
Hal-hal yang menjadi ancaman kegagalan adalah:
-
Goyahnya Koalisi Netanyahu: Perdana Menteri Netanyahu bisa dijatuhkan di Parlemen (Knesset) jika koalisinya kehilangan mayoritas karena dianggap terlalu mengikuti kemauan Trump.
-
Kekuatan Partai Kanan Fundamentalis: Jika partai-partai kanan atau partai agama fundamentalis Zionis berkuasa lebih banyak, mereka akan mengambil sikap yang lebih keras.
-
Pemukim Ilegal Garis Keras: Israel harus menghadapi tekanan dari para pemukim ilegal Yahudi garis keras di Tepi Barat dan Gaza, yang jumlahnya banyak, siap mati, dan status pemukiman mereka dianggap ilegal oleh hukum internasional/Dewan PBB.
Dr. Adian berharap negara Palestina merdeka dapat terwujud secepat mungkin. Ia tidak memprediksi perang akan terjadi pasca-kesepakatan ini, sebab Israel sendiri dinilai sudah "capek" dan takut pada opini dunia yang memojokkan mereka.
Di sisi lain, Donald Trump dinilai bersikap praktis, bukan murni pro-Palestina, karena ia juga membutuhkan dukungan dari kelompok Kristen Zionis yang meyakini bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa pilihan (Yahudi).
Secara garis besar, perundingan ini menjadi momen penting di mana tekanan global berhasil memaksa Israel ke meja perundingan, memberikan pengakuan de facto terhadap Hamas, dan membuka jalan bagi berdirinya negara Palestina merdeka, meskipun prosesnya akan alot dan penuh dengan dinamika politik internal Israel.