Oleh: Dr Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Bangsa Indonesia sudah menyepakati bahwa Kemanusiaan yang dikembangkan di negeri kita adalah ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Bukan sekedar ”kemanusiaan”; bukan pula kemanusiaan yang zalim dan biadab. Tapi, kemanusiaan yang adil dan beradab!
Bagaimana memahami dan mengaplikasikan ”kemanusiaan yang adil dan beradab”? KH Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim, menjelaskan tentang pentingnya makna adab dalam kehidupan seorag muslim. Beliau menguraikan, bahwa: Tauhid mewajibkan iman; iman mewajibkan syariat, dan syariat mewajibkan adab.
Lebih jauh, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, bahwa konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mewajibkan dia untuk beriman kepada Allah. Jika ia tidak memiliki keimanan, tauhidnya dianggap tidak sah. Lalu, konsekuensi dari keimanan adalah pembenaran dan pengamalan terhadap syariat dengan baik. Dan pengamalan syariat harus dilandasi dengan adab. ”Sebab, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah seseorang, tidak akan diterima di sisi Allah SWT,” kata Kyai Hasyim Asy’ari.
Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim menjadi salah satu kitab yang wajib dipelajri oleh para santri Pesantren at-Taqwa tingkat SMP. Judul kitab ini sama dengan Kitab adab-nya Imam an-Nawawi: Adabul Alim wal-Muta’allim. Kitab ini sangat penting dikaji, karena menjelaskan masalah yang mendasar dalam Islam, yaitu masalah adab.
Dalam Konferensi Pendidikan Islam pertama di Kota Mekkah, tahun 1977, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah mengingatkan bahwa krisis yang melanda umat Islam berakar pada masalah adab. Yakni, hilang adab (loss of adab). Karena itu, jika ingin umat Islam menjadi umat hebat, caranya adalah dengan menanamkan adab dalam diri kaum muslimin. Proses penanaman adab itulah yang disebut ta’dib (pendidikan).
Jadi, sebenarnya, para ulama kita sudah memberkan jalan bagi kebangkitan umat Islam, yaitu melalui proses penanaman adab. Sampai-sampai Kyai Hasyim Asy’ari menegaskan dalam kitabnya tersebut: siapa yang tidak beradab, maka ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid!
Rumusan ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” secara resmi diumumkan Bung Karno pada 22 Juni 1945. Itulah hasl rumusan Panitia Sembilan dan dibentuk dan diketuai oleh Bung Karno. Ada empat tokoh Islam yang diajak Bung Karno merumuskan itu, yaitu Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosoejoso, dan KH Abdulkahar Muzakkir.
Rumusan itu sangat berbeda dengan usulan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yaitu sila ”Kemanusiaan” saja. Begitu juga Muhammad Yamin yang mengusulkan sila: ”Perikemanusiaan”. Karena tidak ditemukan notulen rapat Panitia Sembilan, tetu kita bisa menduga, bahwa rumusan ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah masukan dari sejumlah tokoh Islam tersebut dan disepakati oleh seluruh anggota Panitia Sembilan. Apalagi, KH Wahid Hasyim adalah putra dari KH Hasyim Asy’ari.
lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beginilah-cara-indonesia-menjadi-negara-hebat