Oleh: Dr. Susiyanto
(Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
Istilah “puasa” sebenarnya telah mengalami proses Islamisasi yang sangat panjang di Tanah Jawa. Masyarakat Jawa telah mengenal kehidupan asketis sejak lama. Pengendalian nafsu dipercaya bisa mengantarkan pelakunya meraih martabat yang lebih tinggi. Ini bisa dilacak pada sejumlah kata kunci tentang praktik untuk “nggayuh kautaman” (meraih keutamaan) antara lain melalui “tapa” dan aspek “cegah dhahar lan sare” (menahan makan dan tidur).
“Tapa” (bertapa) awalnya adalah istilah lain dari ritus semedi yang berakar dari pengaruh Hindhu atau Budha. Dalam kakawin, sering dijumpai kisah manusia yang derajatnya terangkat setelah melalui proses tapa.
Pada masa perkembangan Islam, istilah “tapa” bergeser maknanya tidak sekedar untuk menuturkan aktivitas semedi seperti di atas. Wiwin Widyawati, pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM, menemukan bahwa istilah “tapa” hampir dapat dipertukarkan dengan “puasa”. (Lih: Serat Kalatidha: Tafsir Sosiologis dan Filosofis Pujangga Jawa Terhadap Kondisi Sosial, hal. 35). Banyak bukti dalam cerita babad dan sastra suluk bahwa kata “tapa” juga digunakan untuk menyebut aktivitas pendisiplinan diri melalui ibadah shalat, puasa, dan mencakup tazkiyatun nafs.
Sunan Paku Buana IX dalam Kidung Sesingir, misalnya, menggunakan “tapa” untuk menyebut aktivitas ibadah yang dilakukan oleh para nabi, raja, dan wali. Dalam tembang Durma dinyatakan: “Awya lali lebokna ing driyanira, saringen dipun ening, pituturing jaman, kuno manungsa utama, den temen sira memundhi, barkahing tapa, nabi ratu myang wali” (Jangan lupa masukkan dalam hati (panca indra), saring secara mendalam nasehat jaman kuno. Manusia utama itu bersungguh-sungguh menggapai berkah tapa, seperti dilakukan nabi, raja, hingga wali).
Bagi masyarakat Jawa, cegah dhahar (menahan makan) adalah salah satu cara menjaga keyakinan dan eksistensi pemeliharaan batin. Oleh karenanya mereka mencela orang-orang yang “tidak tahan lapar” sehingga menerima seruan propaganda agama lain yang mengiming-imingi dengan materi. Ada ungkapan Jawa yang menyatakan bahwa orang yang masuk agama Kristen disebut “orang lapar” (wong luwe). Sedangkan mereka yang masuk Islam ialah orang yang tercerahkan dan tersadarkan (antuk pepadhang). (André Möller, Ramadan in Java: the Joy and Jihad of Ritual Fasting, hal.76).
Masyarakat Jawa mengenal ibadah menahan lapar ini dengan nama “pasa”. Konon kata ini berasal dari istilah upawasa, ritus yang berasal dari pengaruh Indianisasi. Meskipun demikian kata “pasa” di Jawa dewasa ini secara umum merujuk pada praktik puasa oleh kalangan muslim, termasuk yang masih terpengaruh kebatinan.
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut puasa di Jawa adalah “siyam”. Kata ini merupakan ungkapan yang lebih halus (krama inggil) dari kata “pasa”. Kata “siyam” adalah bentuk serapan dari Bahasa Arab “shaum” atau “shiyam”. Penggunaan kata “siyam” dalam penuturan bahasa paling sopan ini menunjukkan apresiasi penghormatan dari wong Jawa terhadap praktik berpuasa dalam Islam.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beginilah-orang-jawa-memuliakan-ibadah-ramadhan