Artikel ke-1.458
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Budayawan Ridwan Saidi (alm.) pernah menulis satu buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta. Judulnya: Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007).
Ridwan Saidi menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama baratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia.
- van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda.
Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi berbagai pihak di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini.
Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih.
Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? hal. 16-17).
Lanjut baca,