Oleh: Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tahun 2023, saat berpidato di KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-10 di Kuala Lumpur, Mahathir Mohammad mengajak dunia Islam untuk melawan Yahudi dengan otak, bukan hanya dengan otot. Kita tidak dapat melawan Yahudi dengan otot semata, tetapi juga harus menggunakan otak. “We cannot fight them through brawn alone. We must also use our brains,” kata Mahathir.
Yahudi adalah bangsa yang kecil. Dari segi jumlah, dibandingkan dengan Islam dan Kristen, Yahudi sangat kecil. Dalam Atlas of The World's Religions, disebutkan jumlah pemeluk agama Yahudi 15.050.000 (lima belas juta lima puluh ribu). (Lihat, Pilkington, Judaism, (London: Hodder Headline Ltd., 2003).
Mahathir sebenarnya menekankan, agar umat Islam belajar dari sejarah Yahudi. Bagaimana bangsa kecil yang mengalami penindasan selama 2000 tahun ini, berhasil survive dan bahkan kemudian menjadi salah satu kekuatan dunia (world power). Ia menekankan, bahwa Yahudi selamat, lebih karena menggunakan “otak”, dan bukan hanya kekuatan fisik. “Muslims were up against people who think; people who survived 2000 years of pogroms not by hitting back, but by thinking.”
Bagian pidato Mahathir yang sangat menohok bangsa Yahudi adalah pernyataannya, bahwa Yahudi bukanlah bangsa yang tidak dapat dikalahkan. Kata Mahathir, “It is surely time that we pause and think. If We had paused to think, than We could have devised a plan, a strategy that can win us final victory.”
*****
Sekedar contoh. Dalam mengarungi perjuangan dalam bidang politik, para politisi Muslim seyogyanya memiliki program yang mendasar dan jangka panjang, tanpa menafikan target-target kekuasaan jangka pendek. Apa yang terjadi pada umat Islam Indonesia kini dapat diambil sebagai pelajaran. Problema politik tidaklah sesederhana menempatkan politisi Islam dalam pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan “ilmu tentang Islam” yang mendalam dan akhlak yang tinggi.
Sebab, pada akhirnya, semua politisi akan dihadapkan pada problema yang sulit di tengah sistem yang non-Islami. Akan tetapi bukan bararti pula “perjuangan di dalam sistem” tidak penting. Yang perlu kita tekankan adalah, bahwa semua gerak dan program politik mestinya didasarkan atas pemikiran dan konsep yang matang. Bukan hanya sibuk melakukan aktivitas mencari popularitas untuk meraih dukungan massa.
Perjuangan terkadang memerlukan perencanaan dan proses yang panjang. Sebutlah contoh apa yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dalam kasus Perang Salib. Banyak ilmuwan yang mempertanyakan, mengapa dalam Kitab terbesar-nya, Ihya Ulumiddin, al-Ghazali tidak menulis secara khusus masalah Perang Salib. Padahal, kitab itu ditulis di saat umat Islam menghadapi problem besar tersebut.
Jika dicermati, Kitab Ihya’ sangat menekankan aspek perbaikan aqidah dan akhlak individu dan masyarakat. Al-Ghazali banyak menulis tentang jihad. Tetapi, di Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali mengajak umat Islam untuk menelaah sumber permasalahan kehancuran umat Islam.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/berjuang-dengan-otot-dan-otak