DEMI MISI, PASTOR INI MEMBOLEHKAN KHITAN

DEMI MISI, PASTOR INI MEMBOLEHKAN KHITAN

Artikel ke-1.860

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Tokoh Katolik Frans van Lith menekankan pentingnya aspek budaya dan pendidikan dalam menjalankan misi Katolik. Ia menekankan perlunya para misionaris mempelajari bahasa dan budaya lokal: “Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.”  (Lihat buku “Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia” oleh Fl. Hasto Rosariyanto SJ,  Yogya: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 151-152).

Untuk meminta dukungan pemerintah Belanda, Pastor van Lith harus pergi ke Bogor menemui Gubernur Jenderal  van Idenburg.  Kerja kerasnya berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda. Buku “van Lith” menceritakan bahwa sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka datang denga satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik.” (Ibid, hal. 162).

Digambarkan, bahwa saat itu, di Muntilan ada 350 siswa non-asrama dan 150 siswa asrama.  Pola kristenisasi melalui pendidikan, sebagaimana dilakukan van Lith, ternyata cukup efektif. Diceritakan dalam surat Pater I. Vogels kepada para Pater Jesuit di Oudenbosch, tertanggal 24 Oktober 1910:  “Jumat lalu ada 53 siswa yang mengikuti ujian masuk, tetapi yang diterima hanya 28 karena kapasitasnya memang tidak bisa lebih dari 115 orang. Sampai sekarang para siswa ini datang sebagai Moslem dan hampir semua dari mereka di kemudian hari menjadi Katolik. Juga 28 siswa yang baru saja diterima itu sebagian besar masih Moslem.” (Ibid, hal. 162).

Pater van Lith memang sangat menekankan pentingnya misi Katolik melalui pendidikan. Bahkan, ia berpendapat,  masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan.” (Ibid, hal. 206).

Dalam menjalankan misinya, van Lith juga sangat fanatik terhadap budaya dan bahasa Jawa sembari mengritik keras pengembangan bahasa Melayu di Jawa.  Padahal, saat itu, bahasa Melayu semakin menjadi sarana penting untuk menumbuhkan identitas nasional di antara gerakan-gerakan nasional.  Akan tetapi, menurut van Lith, bahasa Melayu tidak akan berkembang, dan perannya akan digantikan dengan bahasa Belanda. Dalam sebuah kongres bahasa Jawa, van Lith memperingatkan agar orang Jawa berbangga dengan bahasa Jawa dan menghapus bahasa Melayu dari sekolah-sekolah.  Ia berpegang pada pepatah: “sebuah bangsa yang tidak memiliki karya sastranya sendiri akan tetap tinggal sebagai bangsa kelas dua.” (Ibid, hal. 173).

Lanjut baca,

DEMI MISI, PASTOR INI MEMBOLEHKAN KHITAN (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait