Artikel Terbaru ke-1.981
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Politik Rezim Orde Baru (1966-1998) terhadap umat Islam bisa dibagi menjadi tiga fase: bulan madu, antagonis, dan akomodatif. Era antagonis terjadi sejak akhir 1960-an sampai akhir 1980-an. Di era itu pemerintah Orde Baru menjalankan politik sekularisasi dan de-politisasi Islam. Ketika itulah muncul pandangan di kalangan aktivis mahasiswa Islam, bahwa Masjid Istiqlal adalah masjid dhirar, sejenis masjid yang dibangun oleh orang-orang Munafik di masa Nabi Muhammad saw.
Saya mengalami zaman itu. Tahun 1984, saya mulai memasuki bangku kuliah di Perguruan Tinggi. Saya diwajibkan mengikuti Panetaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selama 100 jam. Padahal, tahun 1978, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak TAP MPR No 2 tahun 1978 tentang P4. Para anggota DPR Fraksi PPP walkout dari ruang sidang.
Para tokoh Islam melihat Pancasila digunakan sebagai alat pemukul aspirasi umat Islam. Pancasila dibenturkan dengan agama. Ada kebijakan penghapusan libur Ramadhan, pelarangan jilbab di sekolah, dan juga pengawasan yang ketat terhadap kegiatan Islam di masjid dan kampus.
Juga, ada kewajiban penggunaan asas tunggal Pancasila bagi Ormas dan Orpol. Lalu, penghilangan identitas Islam pada simbol PPP. Tanda gambar Ka’bah diganti dengan gambar Bintang. Walhasil, PPP yang asalnya merupakan gabungan dari empat Partai Islam, sudah hilang identitas Islamnya, baik namanya, asasnya, maupun lambangnya.
Pada saat yang sama, pemerintah Orde Baru membentuk organisasi-organisasi Islam yang melegitimasi kebijakan pemerintah. Termasuk upaya sekulerisasi keluarga muslim melalui pengusulan RUU Perkawinan sekular tahun 1973. Umat Islam marah dan menyerbu gedung DPR untuk membatalkan penetapan RUU Perkawinan tersebut. Akhirnya, RUU Perkawinan yang baru disahkan pada tahun 1974. Di masa politik antagonis itu, terjadilah Tragedi Tanjung Priok. Diduga ratusan umat Islam menjadi korban.
Sebagai mahasiswa baru, saya sudah mendengar Tragedi Tanpung Priok itu dari tokoh-tokoh Islam di Bogor. Tidak ada berita sebenarnya di media massa. Yang ada hanya penjelasan resmi pemerintah. Karena itu, informasi dari para tokoh Islam lebih layak dipercaya.
Di zaman seperti itulah para aktivis Islam, baik mahasiswa maupun masyarakat, memandang Pancasila sebagai “thaghut”. Sebab, Pancasila ditafsirkan secara tunggal dan dihadapkan dengan ajaran Islam. Masjid Istiqlal – sebagai Masjid resmi pemerintah – dipandang sebagai masjid dhirar. Yakni, masjid yang dibangun untuk memecah belah umat Islam dan merusak agama Islam.
Bukan hanya itu, masjid-masjid Pancasila yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) pun dianggap sebagai masjid yang tidak boleh digunakan untuk digunakan sebagai tempat ibadah. Ada sebuah kampus di Jawa Timur yang mahasiswanya tidak mau shalat di masjid bikinan YABMP, dan lebih memilih masjid lama.
Lanjut baca,