Artikel Terbaru ke-2.270
Oleh: Dr. Adian Husaini
Namanya Farrel Ahmad Wijaksana. Tahun 2025 ini umurnya baru 17 tahun. Ia salah satu cicit ulama besar, Buya Hamka. Pada 19 Mei 2025, Farrel mempresentasikan makalahnya berjudul "Achieving Perfection Through Islamic Education" di Masjid Salman ITB, Bandung.
Dalam makalahnya setebal 15 halaman, Farrel menulis: “One of the most challenging problems we have yet to face in this current era is no other than the problem of moral and social standards. Through globalization and the rise of social media, we are now -especially the younger generation- are consciously and unconsciously following unrealistic terms in order to reach ‘perfection’, or at the very least the standard of happiness sought after and portrayed in media.”
Tahun 2024, Farrel juga mempresentasikan makalahnya di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir (STID M Natsir) Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Makalahnya ia beri judul: “Hamka dan Barat: Respon Hamka terhadap Pembaratan Indonesia.”
Farrel adalah salah satu santri tingkat SMA di Pesantren At-Taqwa Depok. Seperti teman-teman santrinya, di kelas 1 SMA, ia harus menulis makalah dan mempresentasikannya sebanyak empat kali: di depan guru pembimbing, di depan santri-santri, di depan orang tua, dan di pesantren atau sekolah lainnya.
Para santri itu dilatih kemampuan berpikir secara ilmiah sejak dini. Mereka harus banyak membaca, berdiskusi, menulis, dan mempresentasikan tulisannya. Model pendidikan seperti ini dimaksudkan agar para santri memiliki budaya literasi yang tinggi. Farrel termasuk santri yang memiliki tradisi ilmu tinggi. Ia senang membaca dan menulis. Sejumlah artikelnya bisa dibaca di situs Pesantren At-Taqwa Depok.
Salah satu artikelnya berjudul: “Imam Al-Ghazali Bukan Falasifah, Tapi Philosopher!” Ditulisnya: “Ketika membahas filsafat Islam, maka kita akan menjumpai banyak misconception dan kekeliruan. Misalnya, apakah yang dimaksud sebagai filsafat Islam itu tasawwuf? Atau apakah filsafat Islam itu sama dengan kalam? Nomenklatur bagi istilah “filsafat“ dalam Islam sangat beragam. Ada yang menyebutkannya sebagai falsafah, hikmah, kalam, bahkan ulumul awail (ilmu-ilmu terdahulu). Pembahasan filsafat sendiri masih sering dipertanyakan—bahkan dikesampingkan—keabsahannya, yang mana ini berbeda dengan disiplin ilmu lainnya dalam Islam. Sampai sekarang diskursus filsafat memiliki stigma “kurang” baik di kalangan umat Islam itu sendiri.
Pada akhirnya, kesalahpahaman dan pencampuradukan konsep yang tidak tepat terletak pada: bagaimana kita memaknai istilah itu sendiri. Filsafat Islam tidak sepenuhnya sama dengan filsafat Barat, sebagaimana yang sering disalahpahami orang. Kekeliruan tentang makna dan maksud filsafat Islam bersumber kepada pemaknaan filsafat dengan kerangka berpikir Barat, di mana generalisasi dan penyamaan yang tidak nyambung dipaksakan; hingga pada akhirnya melahirkan pemahaman salah yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Filsafat yang berkembang di Barat tidak sama dengan filsafat yang berkembang di Islam. Filsafat di Islam berkembang karena agama, sedangkan filsafat di Barat perlahan membuang agama. Mengutip perkataan Syed Hossein Nasr, bahwa keunikan filsafat Islam dibanding dengan sistem filsafat lainnya terletak pada pembahasaan tentang Nabi dan apa yang dibawa oleh Nabi. Oleh karena itu, filsafat Islam disebut sebagai prophetic philosophy. Lebih lanjut lagi, dalam kuliahnya, Ustadz Khayrurrijal mengatakan tentang asal filsafat Islam; “tentang origin-nya (filsafat Islam) bermula pada worldview Islam”. Dapat disimpulkan, filsafat Islam itu unik, dan tidak sama dengan filsafat Barat atau filsafat-filsafat lainnya.” (Selengkapnya lihat: https://attaqwa.id/artikel/baca/imam-al-ghazali-bukan-falasifah-tapi-philosopher).
*****
Demikianlah petikan-petikan gagasan Farrel yang ditulis ketika ia masih duduk di bangku SMA. Dalam perspektif pendidikan Islam, usia 15 tahun sudah harus dipandang dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Ia sudah akil-baligh. Ia sudah mukallaf. Karena itu, ia harus mandiri. Ia sudah bertanggungjawab atas amalnya sendiri.
Sebagaimana pendidikan yang pernah dijalani oleh Buya Hamka, di usianya yang masih belasan tahun, Farrel sudah dibiasakan berinteraksi dengan pemikiran para ulama dan pemikir-pemikir dunia. Kita doakan para santri seperti Farrel ini akan terus istiqamah dalam perjuangan mencari ilmu dan mampu menerapkan serta mengembangkan ilmunya dengan benar dan bijak. Amin. (Depok, 11 Juli 2025).