Membongkar Akar Masalah Pendidikan: Mengapa Kurikulum Sering Berganti, Tapi Pola Pengajaran Tetap Sama

Membongkar Akar Masalah Pendidikan: Mengapa Kurikulum Sering Berganti, Tapi Pola Pengajaran Tetap Sama

Wacana seputar pendidikan nasional selalu menjadi topik hangat. Setiap pergantian menteri pendidikan, kurikulum baru lahir dengan janji perbaikan. Namun, pola pengajaran di kelas seolah tak pernah bergeser dari format "siswa duduk, mendengarkan, dan guru berceramah". Fenomena ini menjadi ironi di tengah upaya pemerintah yang terus-menerus melakukan "bongkar-pasang" kebijakan.

Adianhusaini.id, Jakarta-- Dalam sebuah perbincangan, Guru Gembul, seorang praktisi pendidikan, menyoroti inkonsistensi ini. Menurutnya, masalah utama bukan pada kurikulum yang berganti, melainkan pada kurangnya adaptasi guru terhadap perubahan tersebut. Perubahan yang terlalu sering membuat guru tidak memiliki waktu dan kesempatan cukup untuk menerapkan kebijakan baru, sehingga mereka kembali ke pola pengajaran yang sudah ada. Hal ini diperparah dengan temuan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang menunjukkan hanya sekitar 20-30% guru di Indonesia yang berkompeten.

Sementara itu, Dr. Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII), memberikan perspektif yang lebih luas. Beliau membedakan antara "pendidikan" dan "persekolahan". Menurutnya, sistem persekolahan saat ini lebih mirip "pabrik" yang berfokus pada standarisasi, seperti durasi belajar, bukan pada esensi pendidikan itu sendiri. Dr. Adian juga berpendapat bahwa persoalan pendidikan harus dilihat dari falsafahnya. Jika tujuannya hanya untuk mencari pekerjaan, maka pondasi pendidikan sudah keliru dari awal. Ia mengingatkan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan membentuk "orang baik" yang salah satu kriterianya adalah mampu mencari nafkah.

Kedua narasumber sepakat bahwa akar permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Guru Gembul menyebutkan, salah satu titik awal perubahan yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong kejujuran dari para pemangku kebijakan. Ia mencontohkan kasus guru yang tidak berkompeten bisa lolos menjadi PNS karena adanya "orang dalam" atau praktik suap. Sementara itu, Dr. Adian Husaini kembali ke esensi yang lebih fundamental: jiwa guru. Ia merindukan kembali semangat para guru di masa lalu yang mengajar dengan ikhlas, bukan semata-mata karena imbalan gaji. Ia menegaskan bahwa menjadi guru bukanlah sekadar profesi, melainkan sebuah peran dan panggilan jiwa.

Dr. Adian menutup perbincangan dengan sebuah pandangan menarik. Menurutnya, Indonesia perlu kembali menghormati profesi guru. Ia berpendapat, jika para siswa terbaik di Indonesia lebih memilih menjadi guru dibandingkan profesi lain, maka itu adalah tanda bahwa pendidikan di Indonesia telah menuju ke arah yang benar.

Secara keseluruhan, percakapan ini memberikan gambaran bahwa perbaikan pendidikan di Indonesia tidak hanya bisa diselesaikan dari satu sisi. Dibutuhkan perubahan yang holistik, mulai dari kurikulum, sistem birokrasi, kesejahteraan guru, hingga yang paling mendasar: pembaruan falsafah dan jiwa pendidikan itu sendiri. 

Link Youtube: https://youtu.be/9kGes5KCxh0?si=ESYSpdnkB3rJMEEd

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait