Artikel Terbaru ke-2.072
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Melalui bukunya yang berjudul”Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen” (Surakarta: Pustaka Lir-Ilir, 2013), Dr. M. Isa Anshory mengingatkan pentingnya umat Islam memahami cara-cara yang digunakan penjajah dan penerusnya untuk menempatkan Islam sebagai agama asing yang tidak cocok untuk orang Indonesia.
Salah satu strategi penyebaran agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Strateginya: “Memisahkan agama Islam dari budaya Jawa, setidak-tidaknya dalam teori dan juga dalam praktek sejauh hal itu dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama Islam mesti dihindari.”
Untuk itulah di sekolah Muntilan, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu dianggap identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam. J.D. Wolterbeek mengatakan, “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”
Senada dengan ini, Pastor Yesuit Frans van Lith berpendapat: Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.
Dengan bantuan pemerintah kolonial dan strategi pre-evangelisation, kegiatan misi Kristen di Jawa meningkat tajam pada masa politik etis. Walaupun orang Kristen tetap terbilang sebagai minoritas kecil, namun jumlah pribumi Muslim Jawa, terutama di Jawa Tengah, yang murtad ke agama Kristen cukup besar. Mengutip kesimpulan seorang anggota muda Yesuit, Karel Steenbrink mengatakan: ”Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana pastor pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”
Total populasi penduduk Pulau Jawa pada 1906 adalah 28.746.688 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 24.270.600 adalah Muslim. Lapangan yang sangat luas dan sulit ini digarap oleh enam lembaga misionaris. C. Albers, Jr. dan J. Verhoeven, Sr. melaporkan pada tahun tersebut bahwa pengaruh Islam menjadi rintangan berat bagi para misionaris. Akan tetapi, berkat bantuan medis dan penyelenggaraan sekolah, mereka berhasil mengkonversi pribumi Muslim ke agama Kristen.
Diangkatnya Alexander Willem Frederik Idenburg sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916) lebih menguatkan arus Kristenisasi. Setelah tahun 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Indonesia. Gerakan misi Kristen beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pembangunan kesejahteraan dan ekonomi. Pembatasan jumlah dan tempat misi dihapuskan, sehingga daerah baru di kepulauan ini pun terbuka bagi kegiatan misi Kristen. Idenburg menjadikan Kristenisasi sebagai tugas politik utama pemerintahannya. Di hadapan Tweede Kamer, dia mengucapkan: De uitbreiding van het Christendom in Indië, als wortel van onze hoogere beschaving, is een zaak van groot politiek belang. (Penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai dasar peradaban yang tinggi adalah tugas politik utama).
*****
Lanjut baca,