Artikel Terbaru (ke-1.629)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 15 Agustus 2023, saya menulis status di FB: “Jika berpolitik punya bekal ilmu yang memadai, niat untuk ibadah, dan berjuang menegakkan kebenaran, maka: LANJUTKAN!”
Status itu mendapat cukup banyak komentar. Hampir seluruhnya setuju dengan pernyataan tersebut. Tapi, ada satu komentar yang menarik: ”Kalau berpolitiknya masih di demokrasi, sesolih apa pun akan tergerus juga ketaatannya.”
Saya menjawab komentar itu: ”Buya Hamka, Mohammad Natsir, juga ikut Pemilu dalam sistem demokrasi… banyak ulama dan tokoh politisi muslim yang baik.”
Komentar saya dijawab lagi: ”Merekapun tidak mampu menerapkan syariat Islam Ustadz, apalagi secara kaffah!”
Mungkin masih banyak orang muslim yang memiliki pandangan seperti itu, sehingga mereka enggan melibatkan diri dalam Pemilu tahun 2024. Ada yang menyatakan, jika sistemnya tidak Islami dan masih memberlakukan sistem demokrasi, maka tidak ada gunanya menggunakan hak pilih. Sebab, menurut mereka, demokrasi adalah sistem yang tidak Islami. Karena itu, mereka memilih ”golput”, alias tidak memilih calon presiden atau anggota legislatif.
Ada lagi, yang menyatakan, bahwa Pemilu bukan jalan untuk meraih kemenangan perjuangan Islam. Kata mereka belum ada partai Islam yang berhasil mewujudkan pemerintahan Islam melalui Pemilu.
*****
Pandangan-pandangan seperti itu, sejatinya bisa dikatakan berlebihan dalam memahami demokrasi, pemerintahan, dan dakwah Islam. Menggunakan hak pilih dalam pemilu, pada dasarnya adalah boleh. Namanya juga hak. Boleh digunakan dan boleh tidak digunakan.
Tetapi, jika mengharamkan ikut pemilu dengan alasan pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi, itu pendapat yang berlebihan. Sebab, bisa saja memilih dalam pemilu menjadi wajib.
Sebagai contoh. Misalnya, dalam kontestasi Pilpres tahun 2024 ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Yang pertama: Robert dan Ribet. Keduanya dikenal sebagai aktivis komunis, liberal, dan pelaku homoseksual. Pasangan kedua: Rohmat dan Ridho. Keduanya dikenal sebagai ilmuwan hebat dan pengusaha sukses yang sholeh dan dermawan.
Dalam kondisi seperti itu, maka saya akan mewajibkan diri saya untuk memilih Rohmat dan Ridho. Jika saya tidak menggunakan hak pilih saya, itu sama saja saya mendukung Robert dan Ribet. Karena saya secara otomatis memperbesar peluangnya untuk menang.
Logika ini sangat mudah dipahami. Bagaimana dengan sistem demokrasi? Para ulama Islam di Indonesia, sejak pemilu pertama tahun 1955, sudah bersepakat untuk mengikuti jalan pemilu sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi dan tugas umat Islam sebagai ummatud da’wah.
Lanjut baca,
JANGAN EKSTRIM MEMAHAMI DEMOKRASI (adianhusaini.id)