Artikel Terbaru (ke-1.630)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa kali saya dimintai pendapat tentang pendirian dan pengelolaan Perguruan Tinggi. Banyak pesantren atau sekolah Islam yang berminat dan berencana mendirikan Perguruan Tinggi Islam sebagai kelanjutan dari proses pendidikan di lembaganya. Beberapa lembaga sudah merealisasikannya.
Kepada pimpinan dan pengelola lembaga pendidikan Islam, saya menyarankan agar berhati-hati dan benar-benar memahami konsep “universitas Islam” beserta tantangannya, di zaman kini. Apalagi, kita sudah memasuki era disrupsi, zaman serba internet, dimana Perguruan Tinggi formal sedang menghadapi tantangan bahkan ancaman berat.
Guru besar Harvard Business School, Prof. Clayton Christensen, memperkirakan, bahwa dalam beberapa dekade ke depan, setengah jumlah universitas dan college di AS akan mengalami kebangkrutan. Prof. Christensen dikenal sebagai pencetus teori inovasi disruptif, melalui bukunya yang berjudul: “The Innovator’s Dilemma.”
Dalam buku terbarunya, “The Innovative University,” Christensen and Henry Eyring menganalisis masa depan universtas tradisional. Ia menyimpulkan, bahwa online education (pembelajaran secara online/daring) akan menjadi lebih model pembelajaran afektif. Ini akan berdampak kepada model pendidikan tradisional. Karena itu, ia memprediksi, dalam 10-15 tahun kedepan, 50 persen college dan universitas tradisional akan bangkrut. (Lihat: https://www.cnbc.com (30/8/2018), dalam berita berjudul: “Harvard Business School professor: Half of American colleges will be bankrupt in 10 to 15 years”).
Hingga kini, kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia masih tetap menempatkan universitas atau Perguruan Tinggi pada umumnya, sebagai institusi pelatihan dan penyiapan tenaga kerja. Karena itu, pondok-pondok pesantren, Ormas Islam, atau sekolah Islam yang bermaksud mendirikan Perguruan Tinggi Islam Islam perlu benar-benar berpikir serius dan memahami benar konsep universitas dan tantangannya di zaman kini.
Jangan sampai, akhirnya keberadaan kampus Islam di lembaga pendidikan Islam itu akhirnya menjadi beban, dan justru tidak mendapat kepercayaan dari para santri atau pelajar di lembaganya sendiri. Keberadaan kampus itu dianggap kurang berkualitas, sehingga kurang diminati, bahkan dianggap sebagai Perguruan Tinggi kelas rendah.
Lebih parah lagi jika pimpinan pesantren atau pimpinan sekolah Islam itu justru memandang rendah kampusnya sendiri. Mereka bangga jika para santri atau murid-muridnya diterima di kampus lain – meskipun itu kampus sekuler – yang jelas-jelas tidak menanamkan penguatan aqidah dan akhlak mulia.
Kondisi ini dipicu oleh masih dominannya persepsi para santri atau siswa juga orang tua, bahwa pesantren atau sekolah Islam yang baik adalah yang lulusannya banyak diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau kampus-kampus lain yang dianggap bergengsi. Artinya, kriteria keselamatan aqidah dan pembentukan akhlak mulia tidak dijadikan sebagai kriteria utama penentuan ranking suatu perguruan tinggi.
Lanjut baca,
NIAT IKHLAS DAN PAHAMI KONSEPNYA JIKA MAU BIKIN UNIVERSITAS (adianhusaini.id)