Artikel Terbaru (ke-1.605)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada Hari Rabu (26/7/2023) saya menguji satu disertasi doktor bidang pendidikan bertemakan tentang pendidikan Life Skill Remaja Masjid. Disertasi ini menarik karena meneliti aktivitas Remaja Masjid di sejumlah masjid terkenal, seperti Masjid Sunda Kelapa, Masjid Raya Bintaro Jaya, dan Masjid Jogokaryan Yogya.
Tetapi, sebagaimana layaknya pengertian pendidikan pada umumnya, aktivitas pendidikan remaja masjid dan sejenisnya, dimasukkan ke dalam kegiatan ekstra-kurikuler. Dan biasanya pula, kegiatan “ekstrakurikuler” atau “ekskul” dimaknai sebagai kegiatan tambahan yang dilakukan di luar jam pelajaran, baik yang dilakukan di sekolah atau pun di luar sekolah.
Karena kegiatan itu disebut “ekstra” maka itu berada di luar kurikulum, yang bersifat pilihan, sesuai minat dan bakat siswa. Jadi, secara umum, kegiatan ekstra kurikuler dipandang tidak lebih penting dari kegiatan kurikuler di sekolah.
Di sejumlah Pesantren, saya jumpai ada pembagian kegiatan santri berupa KBM dan non-KBM. KBM diartikan sebagai Kegiatan Belajar Mengajar. Itu adalah aktivitas santri yang belajar mata pelajaran tertentu di kelas. Sedangkan aktivitas shalat tahajud, shalat subuh berjamaah, tadarrus dan tahfidz al-Quran tidak dimasukkan ke dalam makna KBM.
Itulah yang selama ini berjalan. Kepada mahasiswa calon doktor di Program Doktor Pendidikan Agama Islam UIKA Bogor itu, saya menyarankan untuk mengubah cara pandang terhadap konsep pendidikan yang konvensional tersebut. Jangan menempatkan aktivitas pendidikan di masjid sebagai kegiatan ekstra kurikuler.
Sebab, aktivitas Remaja Masjid sejatinya merupakan satu bentuk pendidikan yang sangat penting bagi kehidupannya. Bukan hanya untuk kehidupan di dunia, tetapi juga kehidupan akhiratnya. Jadi, jangan hal itu dipandang sebagai kegiatan ekstra kurikuler, yang dianggap tidak lebih penting dari akivitas pembelajaran di sekolah. Bahkan, akivitas KBM di sekolah, bisa jadi tidak termasuk ke dalam makna pendidikan, jika proses pembelajaran di sekolah itu menjadikan siswa semakin buruk akhlaknya dan semakin jauh dari Tuhannya.
Ini berbeda dengan pendidikan remaja masjid untuk melatih keterampilan life skill (kecakapan hidup) mereka. Para aktivis remaja masjid itu dilatih agar memiliki kecakapan hidup dalam berbagai bentuknya, seperti personal skill, social skill, vocation skill, academic skill mereka. Semua program pelatihan kecakapan hidup semacam itu sepatutnya tidak dimasukkan ke dalam kategori pendidikan “ekstra-kurikuler”.
Sebab, itulah program pokok dalam pendidikan kita. Apalagi, jika personal skill itu juga mencakup ketrampilan dalam beribadah kepada Tuhan dan berperlaku baik kepada sesama manusia. Ini justru inti-kurikulum pendidikan kita. Jangan disebut sebagai aktivitas ekstra-kurikuler.
Di sinilah pentingnya para pegiat pendidikan Islam menjadikan konsep ilmu dalam Islam sebagai dasar penyusunan kurikulum pendidikannya. Ilmu-ilmu yang fardhu ain harus lebih diutamakan dibandingkan ilmu-ilmu fardhu kifayah, apalagi ilmu-ilmu yang mubah. Adab dijadika sebagai dasar penambahan ilmu.
Lanjut baca,
JANGAN JADIKAN PENDIDIKAN MASJID SEBAGAI EKSTRA-KURIKULER (adianhusaini.id)