Artikel Terbaru ke-2.041
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam bukunya, Pemikiran Hamka tentang Islam dan Budaya (Depok: YPI At-Taqwa, 2024), Nabil Abdurrahman menggambarkan proses pendidikan Hamka di masa anak-anak dengan baik. Proses pendidikan yang dijalani oleh Hamka itu bisa menjadi model pendidikan ideal bagi anak-anak. Berikut ini paparan ringkas Nabil tentang pendidikan Hamka tersebut:
Semenjak kecil Hamka dididik langsung oleh seorang ulama tersohor yang juga ayahnya sendiri. Ilmu-ilmu agama klasik, keempat belas mata pelajaran yang dirumuskan oleh al-Sayuti dalam Itmam al-Dirayah-nya seluruhnya dipelajari Hamka di bawah bimbingan ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke Sekolah Desa hanya sempat dienyam sekitar 3 tahun dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Selebihnya, ia belajar sendiri.
Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke bahasa Arab. Lewat bahasa pula Hamka kecil suka menulis dalam bentuk apa aja. Ada puisi, cerpen, novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang dakwah. Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padang Panjang, serta Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek.
Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labay El-Yunusia mendirikan sekolah Diniyah petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa, sore hari belajar ke sekolah Diniyah dan pada malam hari berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Pada tahun 1918, setelah Buya Hamka dikhitan di kampung halamannya Maninjau, dan diwaktu yang sama ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa, Surau Jembatan Besi tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Lalu, ia memasukkan Hamka ke Sumatera Thawalib.
Sejak masa beranjak dewasanya, ia belajar silat dan randai. Tetapi yang disenanginya adalah mendengar kabar, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi.
Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka hidup mandiri. Karena tertarik mendengar pidato adat, Hamka kecil sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul, dia datang dan didengarnya dengan asyik kata-kata kebesaran adat tambo, keturunan, dan dongeng yang diceritakan pada perayaan tersebut. Tidak puas dengan demikian, ketika orang-orang yang pandai berpidato itu berbicara, ia tulis setiap pidato adat tersebut dan berlatih secara mandiri.
Lanjut baca,