Artikel ke 1.486
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tanggal 9 Ramadhan 1444 Hijriah adalah umur Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-80. Jadi, 80 tahun lalu, tepatnya 9 Ramadhan 1364, Soekarno-Hatta – atas nama Bangsa Indonesia – memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Merdeka dari penjajahan adalah cita-cita umat Islam Indonesia yang telah berjuang melawan penjajah selama ratusan tahun.
Semua umat Islam sepakat, bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI wajib dipertahankan. Karena itulah, puluhan juta umat Islam Indonesia menyambut Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari, yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Bahwa, wajib hukumnya, bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Siapa yang gugur dalam perjuangan itu, dihukumi sebagai syahid fi-sabilillah.
Dalam meraih kemerdekaan, umat Islam telah mempertaruhkan jiwa, raga, harta dan pikiran. Mereka mencitakan negara merdeka yang diatur oleh agama Islam. Aspirasi umat Islam itu disuarakan melalui berbagai forum dan media. Secara resmi, aspirasi itu diperjuangkan dalam forum BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Tetapi, aspirasi umat Islam itu berbenturan dengan sebagian besar anggota BPUPK yang menghendaki negara merdeka perlu dipisahkan dari agama. Perdebatan itu begitu dinamis, dan terkadang sangat keras, hingga Bung Karno mengambil inisiatif mencari “Titik-Temu”.
Terbentuklah Panitia Sembilan yang dibentuk dan dipimpin langsung oleh Bung Karno. Anggotanya mewakili dua arus besar ideologi politik: nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Terjadilah kompromi maksimal yang dirumuskan dalam satu piagam bernama “Piagam Jakarta”. Diantara isinya: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dengan berbagai upaya, ada segolongan orang kemudian berusaha menggagalkan “kompromi-maksimal” itu. Mereka menuntut tujuh kata dicoret. Tujuh kata itu ialah: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Bung Hatta mengaku mendapat ultimatum. Jika tujuh kata itu tidak dicoret, maka mereka tidak mau bergabung dengan Negara Republik Indonesia (NRI).
Umat Islam pun mengalah – demi menjaga persatuan dan kesatuan NRI. Maka, pada 18 Agustus 1945, disepakatilah UUD 1945 sebagai Konstitusi NRI. Meskipun Tujuh Kata sudah dicoret, tetapi Presiden Soekarno mengembalikan lagi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan, bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Sampai disini, bangsa Indonesia punya landasan konstitusi yang disepakati. Ada kalangan umat Islam yang masih berusaha mengembalikan Tujuh Kata lagi. Tetapi, belum berhasil. Ada pihak non-muslim yang juga mengusulkan perubahan Pembukaan UUD 1945. Bahkan, ada juga yang secara terbuka memperjuangkan negara sekuler, dengan mengusulkan TNS (Teologi Negara Sekuler).
Maklum, penduduk yang ratusan juta jumlahnya, tentu memiliki aspirasi yang sangat beragam. Itulah keragaman. Itulah kebhinekaan. Selama masih dalam batas-batas aspirasi pemikiran dan diperjuangkan secara legal-konstitusional, masih diberikan ruang dalam NRI. Tetapi, untuk menjaga keutuhan NRI, diperlukan kepemimpinan dan pemerintahan yang bersih dan kuat (clean and strong government).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/jangan-lupa,-kita-sudah-80-tahun-merdeka