Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam acara Tasyakkur Milad ke-55 Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Kota Padang, 26 Februari 2022, digelarlah satu acara Seminar Nasional, hasil kerjasama MPR-RI dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah). Temanya: “Merawat NKRI, Merawat Amanah Buya Mohammad Natsir.” Pembicaranya: Wakil Ketua MPR-RI, Dr. Hidayat Nurwahid dan Dr. Adian Husaini (Menggantikan Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin).
Tidak diragukan lagi, bahwa Mohammad Natsir adalah tokoh utama dalam pengembalian Indonesia menjadi Negara Kesatuan, melalui Mosi Integralnya, pada 3 April 1950. Dengan Mosi itu, Indonesia berhasil keluar dari jebakan Belanda yang merekayasa terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Begitu pentingnya peristiwa itu, sampai Bung Hatta, menyebutkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1950, laksana Proklamasi RI yang kedua. Karena itulah, menurut Dr. Hidayat Nurwahid, fraksinya di DPR masih terus berjuang agar tanggal 3 April diperingati sebagai Hari NKRI. Mohammad Natsir sendiri telah diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2008.
Pada seminar itu, saya membacakan satu pantun: “Makan rendang di Kota Padang. Teh Telur belum dirasa. Jangan lupakan Tanah Minang. Di sinilah lahir banyak tokoh bangsa.” Pantun itu untuk menggambarkan betapa banyaknya orang-orang hebat dari Tanah Minang yang berjasa besar bagi bangsa Indonesia.
Tiga dari anggota Panitia Sembilan yang dipilih Bung Karno, adalah orang-orang Minang, yaitu: Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan Muhammad Yamin. Enam tokoh lainnya: Soekarno, Ahmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso.
Saya juga menyampaikan, bahwa dalam sejarah perjalanan Indonesia, peran tokoh-tokoh Minang, sangatlah luar biasa besarnya. Pada tanggal 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad yang fenomenal. Fatwa ini menegaskan kewajiban umat Islam Indonesia untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Padahal, belum lama, umat Islam dikecewakan dengan dihapusnya 7 kata dari Piagam Jakarta – yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945.
Sosok KH Hasyim Asy’ari tidak bisa dipisahkan dengan “Tanah Minang”. Bersama KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama besar asal Minang yang menjadi guru di Mekkah. Keduanya dikirim ke Mekkah oleh Kyai Soleh Darat, Semarang. Kyai Soleh Darat juga bertahun-tahun menjadi guru di Mekkah.
Dampak dari Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari sangatlah besar. Ketika itu, selain sebagai Rois Aam NU, KH Hasyim Asy’ari juga merupakan pemimpin tertinggi umat Islam Indonesia. Beliau adalah Ketua Majelis Syuro Masyumi, dengan wakilnya, Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah. Jadi, wajarlah fatwa jihad Kyai Hasyim Asy’ari itu mendapat sambutan luas dari seluruh kaum muslimin Indonesia.
Lanjut baca,