Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial, terbitan Kemendikbud, kurikulum 2013, untuk SMP/MTS kelas VIII, ditulis: “Secara umum, kegagalan perjuangan rakyat Indonesia di berbagai daerah dalam mengusir penjajah adalah:… Bersifat lokal/kedaerahan… lebih mengandalkan kekuatan senjata… tergantung pada pimpinan… belum terorganisir secara nasional dan modern (hlm.91)
Kasihan anak-anak tingkat SMP itu. Sejak dini, mereka sudah diajarkan tentang kekalahan dan kegagalan para pejuang! Buku ini memberikan cara pandang tentang “kegagalan perjuangan” para pahlawan yang berjuang melawan penjajah. Bahwa, para pahlawan kita itu gagal dalam mengusir penjajah! Lalu, dianalisis sebab-sebab kegagalan mereka.
Secara kasat mata, para pahlawan itu memang tidak berhasil mengusir penjajah. Tapi, perjuangan mereka tidak gagal. Sebab, perjuangan para pahlawan itu tidak berhenti di medan perang. Para pengikut mereka terus melakukan perlawanan terhadap penjajah dalam bentuk pendidikan atau dakwah.
Karena itu, sepatutnya, kita berhati-hati memberikan istilah “gagal” atau “kalah” untuk perjuangan para pahlawan tersebut. Sebutlah perjuangan Pangeran Diponegoro dan para pahlawan lainnya. Apakah Diponegoro gagal? Apakah perjuangan Syekh Yusuf Maqassari, Cut Nya’ Dien, Teuku Umar, Antasari, Sultan Hasanuddin, dan sebagainya, bisa dikatakan gagal?
Tidak! Perjuangan mereka tidak gagal. Meski mereka gugur atau ditangkap dan diasingkan penjajah, perjuangan mereka tidak gagal. Mereka menang, karena telah berani melakukan pilihan hidup yang benar. Mereka tidak berkhianat. Kekalahan di medan tempur adalah kemenangan yang tertunda. Ruh perjuangan mereka terus mengalir dari waktu ke waktu; dari generasi ke generasi, sampai akhirnya penjajah terusir dari bumi Indonesia.
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/jangan-salah-melihat-fakta,--kita-tidak-kalah