Artikel ke-1.384
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Mohammad Natsir adalah tokoh Islam yang dikenal memiliki hubungan luas dengan berbagai kalangan. Bahkan, dengan tokoh-tokoh yang berbeda pandangan dan berbeda agama. Di dunia internasional, Mohammad Natsir juga menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh internasional.
Mohammad Natsir memiliki hubungan istimewa dengan sejumlah pemimpin berbagai negara. Mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, sampai menyebut berita wafatnya Mohammad Natsir lebih dahsyat daripada berita Bom Atom Hiroshima.
Namun, Mohammad Natsir pun memegang teguh agama yang diyakininya. Sebagai muslim ia menyadari kewajibannya untuk menjaga dan mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Ketika masih menjadi siswa SMA Belanda di Bandung, ia sudah menulis artikel di koran yang isinya mengkritik pemikiran seorang pendeta Belanda.
Ketika itu, seluruh kelasnya diundang oleh guru gambar untuk menghadiri pidato seorang pendeta Kristen bernama Ds. Christoffel. Pidatonya berjudul ”Quran en Evangelie” dan ”Muhammad als Profeet”. Meskipun disampaikan dengan gaya yang lembut, Natsir melihat pidato si pendeta itu sesungguhnya menyerang Islam secara halus. Esoknya, pidato itu dimuat di surat kabar ”AID” (Algemeen Indish Dagblad). Natsir kemudian menulis artikel yang menjawab opini sang pendeta, melalui koran yang sama. (Lihat, Anwar Harjono dkk., Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), hal. 17.)
Ketika program Kristenisasi dilancarkan besar-besaran di masa Orde Baru, Mohammad Natsir pun tidak tinggal diam. Selain memberikan kritik melalui tulisan, Mohammad Natsir mengirim dai-dai ke berbagai pelosok negeri, untuk membendung arus Kristenisasi.
Ia senantiasa mengingatkan, bahwa gerakan Kristenisasi yang ditujukan kepada masyarakat muslim akan merusak kerukunan umat beragama di Indonesia. Meskipun berteman dengan sejumlah tokoh Kristen, Mohammad Natsir tidak rela umat Islam menjadi sasaran gerakan pemurtadan melalui Kristenisasi.
Mohammad Natsir pernah menyampaikan imbauan penting untuk kaum Kristen di Indonesia:
"Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama-agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu. Marilah saling hormat menghormati identitas kita masing-masing, agar kita tetap bertempat dan bersahabat baik dalam lingkungan "Iyalullah" keluarga Tuhan yang satu itu.
Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang menganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah). Dengan sepenuh hati kami harapkan supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana idam-idaman sementara golongan orang-orang Nashara yang disinyalir dalam Al Quran yang tidak senang sudah, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang yang sedang beragama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian, sebab kalau demikian maka akan putuslah tali persahabatan, akan putus pula tali suka dan duka yang sudah terjalin antara kita semua.
Jangan-jangan nanti jalan kita akan bersimpang dua dengan segala akibat yang menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit, kadang-kadang antara saudara dengan saudara ada baiknya kita berbicara dengan berpahit-pahit, yakni yang demikian tidaklah dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan.
Sebab, kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini." (Seperti dikutip oleh Prof. Umar Hubeis dalam mukaddimah buku Dialog Islam dan Kristen, yang ditulis oleh Bey Arifin, 1983:28-29).
Lanjut baca,