Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ada yang bertanya, mengapa saya memasukkan anak kelima saya (Fatih Madini, https://www.facebook.com/madinifatih/) kuliah ke Kampus DDII (STID Muhammad Natsir); bukan ke Perguruan Tinggi yang kata orang ”bergengsi”, yang berakreditasi tinggi secara nasonal maupun internasional? Berikut ini jawabannya!
Dalam Kitabnya, Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim, Kyai Haji Hasyim Asy’ari mengutip kisah Imam Syafii dalam mengejar adab. Suatu saat, Sang Imam ditanya, bagaimana kiatnya dalam mengejar adab. Imam Syafii pun menjawab: ”Aku terus mencarinya, laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”
Jadi, betapa beradabnya Imam Syafii. Ia telah memahami, bahwa untuk meraih adab harus dilakukan dengan amat sangat serius. Mencari adab bukan kerjaan sambilan. Dalam kondisi apa pun, seorang Ibu akan mendahulukan usaha mencari anak satu-satunya yang hilang. Pekerjaan lain akan ditinggal. Mencari anak tunggal yang hilang itulah prioritas utamanya.
Begitu seriusnya masalah adab itu, sehingga Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan, siapa yang tidak beradab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan: ”The fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” Abdullah Ibnul Mubarak, seorang ulama terkenal menyebutkan, bahwa dua pertiga porsi ajaran Islam adalah adab (kaadal adabu yakuunu tsulutsay al-diin).
Itulah kedudukan penting adab dalam ajaran Islam. Karena itu, bisa dikatakan, hakikat Pendidikan dalam Islam adalah proses penanaman adab. Orang mencari ilmu dan melakukan berbagai proses penempaan diri, harus bertujuan satu: menjadikan dia semakin beradab.
Rasululllah saw menjelaskan bahwa salah satu hak anak – yakni kewajiban orang tua – adalah menjadikan anaknya semakin baik adabnya (wa-yuhsina adabahu). Hak anak itu harus ditunaikan, agar di akhirat, anak-anak tidak menuntut haknya kepada orang tuanya.
Itulah beratnya tugas dan kewajiban orang tua terhadap keluarganya. Al-Quran menyebut akad nikah sebagai “mitsaqan ghaliidhaa”, perjanjian yang berat. Istilah “mitsaaqan ghaliidhaa” juga digunakan untuk perjanjian antara Allah dengan para nabinya.
Lanjut baca,