Oleh: Dr. Tiar A. Bachtiar (Dosen STAIPI Garut)
Kata “emansipasi wanita”, kini sudah nyaris tak terdengar! Lebih sering digaungkan gagasan “kesetaraan gender”. Padahal, kata emansipasi itu sendiri telah memicu banyak pertanyaan. Benarkah perempuan Indonesia memerlukan emansipasi?
Kata “emansipasi wanita” mencuat sejak Armin Pane menerjemahkan surat-menyurat RA Kartini dengan teman-teman Belandanya yang ia beri judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Dusternis tot Licht) pada tahun 1930-an. Buku Kartini itu menginspirasi kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan negeri ini. Namun, yang tadinya dianggap sebagai penyemangat ternyata di kemudian hari menyimpan masalah krusial bagi para wanita dan keluarga di negeri ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini memang menceritakan apa adanya yang dialami para wanita priyayi di Jawa. Misalnya, ia mengisahkan tentang adat istiadat yang mengurung dirinya.
“Kami, anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak boleh…. Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk “kotak”, saya dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar…”
Cerita-cerita Kartini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa nasib para wanita di Indonesia pada umumnya seperti itu hingga kesimpulannya adalah bahwa wanita Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu keharusan.
Memang, dalam kasus Kartini bisa saja ia diperlakukan seperti itu. Tetapi, apakah semua perempuan di masanya diperlakukan sama RA Kartini? Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa RA Kartini dan beberapa kalangan kaum priyayi seperti Kartini. Sebab, perempuan di Aceh dan di beberapa daerah lainnya, tidak mengalami nasib seperti yang dialami Kartini.
Munculnya Cut Nyak Dien sebetulnya cukup mengherankan. Bagaimana bisa dalam masyarakat yang—katanya--sangat didominasi laki-laki (patriarkhi) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas itu membutuhkan suatu revolusi sosial untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Din dalam masyarakat patriarkhi. Namun, nyatanya Cut Nyak Dien bukan tokoh rekayasa. Jelas dia bukan tokoh ciptaan Belanda.
Harap maklum, Aceh tidak pernah tunduk pada Belanda sampai tahun 1904. Kalaupun akhirnya ditaklukkan, para ulama Aceh tidak mengakui bahwa mereka tunduk pada Belanda. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap Belanda terus dikobarkan. Jadi tidak mungkin munculnya sosok Cut Nyak Dien dipengaruhi ide feminisme Barat.
Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik, bahkan menjadi pemimpin negara bukan barang baru di Aceh. Pemimpin kerajaan Aceh antara tahun 1641 sampai tahun 1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Safiatudin Johan Berdaulat (1641-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Ali Hasymi, 1977).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/masih-perlukah-emansipasi