Oleh: Dr. Adian Husaini(www.adianhusaini.id)
Mungkin tidak banyak yang merenungkan, bahwa keberadaan kata "Allah" dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan proses perjuangan yang panjang. Kata "Allah" dalam konstitusi itu memberkan indikasi kuat bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan Konsep Tauhid Islam, sebagaimana ditetapkan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, keberadaan lafaz Allah pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 beberapa kali sempat menghilang. Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, keberadaan lafaz Allah dalam Pembukaan UUD 1945 ini sempat diprotes oleh delegasi dari Bali, I Ktut Pudja.
Ia mengusulkan, agar rumusan "Atas berkat rahmat Allah" diganti dengan "Tuhan Yang Maha Kuasa". Dalam rumusan Pancasila Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, kata Allah juga tidak muncul.
Nah, dalam Pembukaan UUD 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, lafaz Allah muncul lagi. Hanya saja, dalam naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) yang ditetapkan MPR RI tahun 1978, lafaz Allah kemudian lenyap, dan muncul dengan istilah Tuhan. Naskah P-4 dibuka dengan kalimat: "Bahwa sesungguhnya atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa perjuangan rakyat Indonesia ..."
Di Indonesia, istilah Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan Islam (Tauhid). Hanya umat Islam yang secara tegas dan jelas serta seragam menggunakan lafaz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun, umat Islam selalu menyebut nama Tuhannya adalah Allah.
Sebab, nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan wahyu, dan bukan berdasarkan tradisi/budaya atau konsensus/kongres/konsili. Karena itu, bagi umat Islam, soal nama Tuhan ini sudah selesai dari awal. Umat Islam tidak berselisih paham tentang nama Tuhan ini. 18
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mempertahankan-kata-allah-dalam-konstitusi