MENANAMKAN BUDAYA ILMU DAN PERJUANGAN PADA MAHASISWI

MENANAMKAN BUDAYA ILMU DAN PERJUANGAN PADA MAHASISWI

 

Artikel ke-1.437

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Pada hari Senin (6/2/2023) saya mengisi acara Seminar tentang Budaya Ilmu di Pesantren Gontor Putri Mantingan, Ngawi, Jawa Timur. Pesertanya ratusan mahasiswi Universitas Darussalam (Unida) Gontor. Hadir juga pimpinan Pesantren Gontor Putri 3, KH Muhammad Badrun dan beberapa guru.

            Terwujudnya Budaya Ilmu merupakan prasyarat terjadinya kebangkitan individu atau masyarakat. Budaya ilmu, menurut Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, adalah kondisi dimana seseorang atau masyarakat menjadikan ilmu sebagai hal terpenting dalam hidupnya. Ilmu menjadi kriteria utama dalam mengambil keputusan.

            Jika seseorang telah memiliki budaya ilmu, maka ia akan merasakan ilmu sebagai satu kelezatan. Ia akan senantiasa berburu ilmu dan setelah dapat buruannya, maka ilmu akan diikat dengan ketat, agar tidak lepas. Ia selalu haus ilmu, sehingga senantiasa berharap dan berdoa: “Ya Allah tambahlah ilmuku.”

            Di sinilah tugas penting para guru atau dosen untuk menyajikan ilmu sebagai hidangan yang lezat. Jangan sampai mahasiswi dijejali terlalu banyak ilmu tetapi tidak merasakan kelezatannya. Metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan kondisi mahasiswi, sesuai dengan kadar akal dan kondisi mereka.

            Itulah pentingnya para guru atau dosen mendapatkan hikmah dari Allah agar dapat mengajar dan mendidik dengan benar dan tepat. Dalam buku Fiqhud Da’wah, Mohammad Natsir menjelaskan: “Hikmah, lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan; ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang da’wah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.”

            Para mahasiswi Unida Gontor yang hadir dalam seminar itu, hampir semuanya adalah guru. Mereka mendapat tugas mengajar, mengasuh, mendidik para santri. Pada saat yang sama, mereka juga menjalani kuliah formal di Unida Gontor.

            Kepada mereka, saya ingatkan kembali pentingnya akivitas mengajar, sebagai bagian dari proses penanaman budaya ilmu. Bahwa, ilmu yang bermanfaat, menurut Syeikh az-Zarnuji, adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan. Jangan sampai para santri yang lulus dari pesantren tidak mau mengajar atau mengajar secara terpaksa sebagai kewajiban pengabdian sebagai syarat untuk mengambil ijazah.

            Pendiri Pesantren Darussalam Gontor, KH Imam Zarkasyi, menyampaikan pesan penting dalam satu pidato yang beredar luas di media online: “Kalian kami didik untuk menjadi kader-kader pemimpin dan juga belajar menjadi orang besar.  Apa itu orang besar, apakah mereka yang jadi pengusaha besar, atau ketua partai, ketua ormas Islam yang besar?  Bukan itu yang saya maksud sebagai orang besar! Orang besar itu adalah mereka yang lulus dan keluar dari pesantren ini kemudian dengan ikhlas mengajarkan ilmunya kepada orang-orang di pelosok-pelosok, sampai di kaki-kaki gunung. Dimana pun mereka berada, di bukit-bukit, atau di kolong jembatan sekalipun. Itu yang saya maksud orang besar!”

            Jadi, itulah makna “orang besar” dalam pandangan KH Imam Zarkasyi. Bahwa, mereka adalah yang mengamalkan ilmunya; yang mengajarkan ilmunya. Itulah mengapa pondok-pondok pesantren di masa lalu sangat menekankan pentingnya “mengajar” bagi para lulusannya. Mereka disiapkan menjadi pejuang ilmu, pejuang dakwah, dan juga pejuang penegak amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menanamkan-budaya-ilmu-dan-perjuangan-pada-mahasiswi

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait