Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Menyambut 113 Tahun Mohammad Natsir, tahun 2021 ini, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir menggelar acara "Sepekan Bersama Mohammad Natsir". Selama tujuh hari tujuh malam, sehari dua kali, selama 11-17 Juli 2021, diadakan seminar membedah pemikiran dan keteladanan Mohammad Natsir, dari berbagai aspeknya.
Para pembicara menggali pemikiran dan keteladanan Mohammad Natsir dari aspek akhlak, pendidikan, politik, ukhuwah, kaderisasi dai, dan sebagainya. Pada sesi pembukaan seminar, saya menyampaikan bahwa melalui acara ini kita berharap dapat mengambil hikmah dari perjalanan hidup dan perjuangan Pak Natsir.
Tujuannya, bukan untuk mengkultuskan Mohammad Natsir, tetapi untuk mengambil pelajaran dan menerapkannya dalam konteks zaman sekarang. Sebagai contoh, Pak Natsir secara formal hanya sekolah sampai tingkat SMA. Ia tidak melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi, meskipun mendapat tawaran beasiswa.
Meskipun begitu, Mohammad Natsir pada hakikatnya telah menjalani proses pendidikan tinggi yang ideal, sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Mohammad Natsir bukan sosok yang turun dari langit dan tiba-tiba menjadi orang hebat, seperti kisah-kisah fiktif para superhero.
Mohammad Natsir, Sang Pahlawan Nasional, adalah produk pendidikan ideal. Model dan perjalanan pendidikan Pak Natsir itu bisa kita pelajari dan kita telurusi. Karena itu, jika ditanyakan, apakah kita bisa melahirkan kembali sosok seperti Mohammad Natsir, maka jawabnya adalah, "Bukan bisa atau tidak bisa, tetapi harus bisa!"
Sebagaimana para sahabat Nabi saw menjadi generasi terbaik, bukan karena mereka spesies yang berbeda dengan generasi sesudahnya. Para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa, sama seperti manusia lainnya. Jatungnya sama, tulangnya sama, susunan sel syarafnya juga sama dengan manusia lainnya. Yang membedakan adalah pendidikan mereka. Para sahabat Nabi itu menjadi generasi terbaik, karena dididik langsung oleh guru terbaik, yaitu Rasulullah saw.
Begitu juga Mohammad Natsir! Ia menjadi manusia unggul, karena merupakan produk pendidikan yang unggul pula. Pak Natsir langsung menjalani proses pendidikan terbaik. Secara intelektual, ia menjalani proses pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda, mulai HIS, MULO, dan AMS (SD, SMP, dan SMA).
Di sini ia digembleng secara intelektual, meskipun bercorak sekuler. Ketika duduk di AMS Bandung, misalnya, Mohammad Natsir harus membaca sekitar 36 buku untuk menghadapi ujian satu mata pelajaran. Pada saat yang sama, Pak Natsir juga langsung berguru kepada guru-guru terbaik, seperti A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Syekh Ahmad Soorkati. Ketika itu pun, ia sudah aktif dalam pergerakan pemuda Islam Jong Islamiten Bond (JIB).
Sukses pendidikan tergantung pada tiga pihak: orang tua, murid, dan guru. Tiga pihak itu mendukung sukses pendidikan Mohammad Natsir. Orang tuanya merestuinya untuk tidak melanjutkan kuliah. Padahal, itu pilihan yang sangat tidak lazim di zaman itu. Guru-gurunya merupakan para ulama pejuang dan mengalirkan semangat perjuangan yang kuat. Natsir sendiri, sejak kecil memiliki sifat haus ilmu dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah umat.
Dengan modal diri, orang tua, dan guru-guru seperti itu, Mohammad Natsir kemudian tumbuh dan menjelma menjadi sosok pejuang dakwah dan negarawan terkemuka di Indonesia. Jiwa perjuangan dan jiwa pengorbanannya terus menjadi inspirasi dari generasi ke generasi.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menyambut-113-tahun-mohammad-natsir