(Artikel ke-1.287)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pemerintah Indonesia sudah mencanangkan program Indonesia Emas 2045. Ketika itu ditargetkan Indonesia sudah menjadi negara maju, dengan pendapatan perkapita Rp 27 juta/bulan. Bahkan, diperkirakan, Indonesia akan menjadi negara keempat dari segi produk domestik bruto (PDB)-nya. Ketika itu, dimanakah posisi umat Islam Indonesia?
Dari 2022 ini, masih ada waktu 23 tahun untuk menuju tahun 2045. Itulah masa tugas kenabian Rasulullah saw. Dalam masa itu, beliau mampu melahirkan satu generasi terbaik. Dalam perspektif pendidikan, waktu 23 tahun bukanlah masa yang terlalu panjang.
Tidak mau tertinggal dan melewatkan peluang dakwah, maka Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah) melakukan terobosan baru dalam pendidikan kader dai, dengan membuka kelas khusus Program “Jurnalistik dan Pemikiran Islam”. Ini adalah penyempurnaan dari program tahun sebelumnya, yaitu kelas “Wartawan Profesional Pejuang”.
Kelas “Jurnalistik dan Pemikiran Islam” ini bekerjasama dengan At-Taqwa College Depok. Sebagian besar mahasiswanya adalah alumni At-Taqwa College -- Pesantren At-Taqwa Depok. Kelas ini dibimbing langsung oleh pakar pemikiran Islam, Dr. Nirwan Syafrin. Para dosennya adalah para dai senior Dewan Da’wah dan juga para pakar pemikiran Islam yang sudah dikenal luas karya dan kiprahnya di Indonesia.
Selama dua dekade, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir sudah berkiprah dalam melahirkan lebih dari 700 dai. Mereka sudah berkiprah di berbagai pelosok Indonesia. Kini, melalui pembukaan kelas khusus Jurnalistik dan Pemikiran Islam, diharapkan akan lahir para dai yang mampu memimpin umat dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang kepemimpinan berpikir dan arah perjuangan umat Islam Indonesia.
Bagaimana pun, pemimpin tidak dilahirkan oleh orang tuanya. Belum tentu pemimpin juga melahirkan pemimpin. Sebab, pemimpin itu lahir dari proses pendidikan yang unggul. Pemimpin lahir dari kancah perjuangan masyarakat. Karena itulah, pendidikan di kelas “Junalistik dan Pemikiran Islam” ini mengutamakan perpaduan antara aspek intelektualisme dan aktivisme.
Para mahasiswa “Kelas Jurnalistik dan Pemikiran Islam” didorong untuk hidup mandiri dengan bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mampu membiayai pendidikannya sendiri. Sebagian besar mereka kini menjadi guru di Pondok Pesantren. Ada juga yang bekerja di berbagai lembaga dakwah. Calon pemimpin yang baik harus mampu merasakan dinamika persoalan umat dan bangsa.
Secara intelektual, mahasiswa kelas “Jurnalistik dan Pemikiran Islam” dididik dengan kurikulum ideal dengan menempatkan aspek adab dan akhlak mulia sebagai kompetensi utama. Mereka harus dididik agar memiliki sifat cinta ilmu, cinta ibadah, dan cinta perjuangan. Jiwa mereka dibersihkan dari sifat-sifat yang merusak jiwa, seperti kemalasan, kesombongan, riya’, penakut, dengki, munafik, dan sebagainya.
Dari aspek keilmuan, mereka dididik dengan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan manusia seutuhnya yang berjiwa pejuang. Tetapi, mereka dilengkapi dengan keahlian (skill) yang diperlukan untuk mandiri. Dengan sifat pembelajar yang ditanamkan kepada mereka, diharapkan, mereka akan menjadi manusia-manusia yang haus ilmu. Mereka disiapkan untuk memiliki sikap “siap belajar apa saja” ilmu yang diperlukan oleh umat.
Keunikan program kaderisasi pemimpin Dewan Da’wah ini adalah visi “Peta Jalan Keilmuan dan Perjuangan” lebih diutamakan daripada visi “Peta Jalan Pekerjaan”. Mereka bukan dituntun untuk bervisi: “saya nanti bekerja dimana” setelah lulus. Tetapi, visi mereka adalah “Ilmu apa yang harus saya kuasai dan peran apa yang harus saya jalankan, agar saya bisa menjadi manusia yang bermanfaat?” Tentu saja, para mahasiswa yang berani memasuki program ini sudah harus memiliki persiapan jiwa dan raga.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan, bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah “Tantangan Ilmu” (The Challenge of Knowledge). Tantangan ilmu harus dijawab dengan ilmu. Di sinilah letak pentingnya mahasiswa dibekali dengan “Pemikiran Islam” yang kokoh agar mereka siap memimpin umat dalam menjawab tantangan zaman, agar iman dan akhlak masyarakat selamat dari kerusakan.
Mengapa Juranalistik? Sebab, kita sudah memasuki Era Disrupsi. Di zaman serba internat dan dominasi peran Media Sosial dalam komunikasi, maka ilmu dan ketrampilan jurnalistik menjadi bekal wajib bagi para dai dan para pemimpin dalam menjalankan amanahnya.
Lanjut baca,