(Artikel ke-1.288)
Oleh: Fatih Madini
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir/Penulis Buku Reformasi Pendidikan Kita)
Tujuan pendidikan dalam Islam, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, adalah “to produce a good man” (untuk melahirkan orang baik). Jadi, tujuan pendidikan bukan sekedar melahirkan karyawan yang baik atau warga negara yang baik. Tetapi, lebih mendasar daripada itu. Sebab, manusia yang baik, pasti karyawan yang baik dan pasti warga negara yang baik.
Senada dengan rumusan Syed Naquib al-Attas tersebut, Konstitusi Indonesia (UUD 1945) pun menegaskan, bahwa: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”
Artinya, konstitusi kita pun mengutamakan penanaman nilai berupa keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia dan menjadikannya sebagai tujuan pendidikan yang paling utama. Maka jelaslah, tatkala berbicara soal pendidikan, ia tidak melulu soal ajang tranfer ilmu antara guru dan murid.
Pendidikan, bukan hanya ladang guru untuk menjadi “tukang ngajar” dengan tujuan materi semata. Pendidikan, bukan sekadar ladang murid untuk menumpuk ilmu dan menggali wawasan sedalam-dalamnya. Dan Pendidikan yang sesungguhnya, bukan pula institusi yang secara komitmen melahirkan banyak orang pintar dan pandai, tanpa sedikit pun peduli akan kebaikan dan kebermanfaatan mereka.
Pendidikan, tidak melulu soal embel-embel “gengsi” dan “terfavorit”, sehingga menjadi angan-angan terbesar para penuntut ilmu. Pendidikan, tidak hanya tentang “Kalau sudah lulus kuliah, saya mau bekerja di tempat yang diduga kuat bisa mendatangkan banyak uang”, sehingga ditetapkanlah hal itu sebagai kriteria kesuksesan dan keberhasilan setiap mahasiswa.
Pendidikan, bukan sekadar menjadi penuntun manusia meraih ijazah, gelar, dan pekerjaan yang mapan. Dan pendidikan yang sesungguhnya, bukan pula institusi yang secara konsisten melahirkan para pekerja yang haus akan materi sebagai pemasok kebutuhan fisiknya, namun lupa akan makna dan nilai-nilai sebagai penunjang utama kebutuhan primer mereka.
Pendidikan, bukan ranah yang selalu membawa manusia-manusia dengan potensi layaknya emas bahkan intan menempati bidang-bidang yang menguntungkan aspek materi dan sudah ditempati oleh mayoritas manusia. Pendidikan, bukanlah lahan untuk memaksa manusia-manusia dengan potensi selain intan, emas, ataupun perak, menempati posisi-posisi milik tiga jenis manusia tersebut.
Dan pendidikan yang sesungguhnya, bukan pula sarana menempa emas menjadi emas dan selainnya sesuai kapasitasnya, namun dibiarkan saja kekeringan adab ataupun soft skill sebagai bekal utama menghadapi berbagai macam soal kehidupan.
Pendidikan tidak melulu soal memperkaya ilmu, sibuk mencari ijazah dan gelar, serta menjadi manusia-manusia yang hanya ditempa dengan mental pekerja demi materi dunia. Semakin tinggi jabatan serta mudah dan banyak sarana tersebut menghasilkan harta, saat itulah “kesuksesan” telah disandangnya. Kemudian, yang terus terpikirkan adalah bagaimana setelah lulus bisa survive, bisa memenuhi serta memuaskan kebutuhan fisik semata. Begitulah peran pendidikan sekular untuk “memaksa” manusia berputar-putar dalam “lingkaran syahwat”.
Lanjut baca,