Oleh: Fatih Madini
(Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir)
Dalam buku Falsafah Ketuhanan, Buya Hamka menulis bab khusus berjudul “Menemukan Tuhan dalam Keindahan Alam”. Mengawali bab tersebut, Buya Hamka menuturkan satu peringatan Nabi Muhammad saw kepada Bilal bin Rabah, agar merenungkan makna al-Qur’an surat Ali Imran ayat 190-191 secara lebih dalam. Bahkan Nabi sampai berkata, “Sengsaralah, hai Bilal, bagi orang yang membaca akan ayat itu lalu tidak dipikirkannya maksudnya.”
Melalui ungkapan tersebut, sejatinya Buya Hamka pun mengajak kita untuk kembali merenungkan dua ayat tersebut. Ketua Mejalis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu menegaskan:
“Firman Ilahi dan ajaran Nabi itu senantiasa mengandung ajakan agar kita senantiasa merenungkan keadaan di sekeliling kita, keindahan yang meliputi segalanya. Jiwa yang suci bersih dapat mendengar dan melihat indahnya sekeliling alam. Di sana terdapat tiga sifat Allah, yaitu jamal, artinya indah. Kedua jalal artinya agung. Ketiga kamal, artinya sempurna. Semua yang ada ini adalah dinding yang membatas kita dengan Dia. Namun, apabila kita dengan jiwa yang kuat sudi menembus dinding itu, yakni dengan penglihatan ruhani yang bersih, niscaya terbukalah hijab itu. Hanya mata yang lahir ini saja yang melihat batas itu, melihat gunung menjulang, ombak berdebur, awan mengepul di udara, kembang mekar dan indah. Adapun mata ruhani mulai menembus dinding itu. Bukan dinding lagi yang kelihatan, tetapi penciptaan dari segalanya itu, Allah SWT” (Hamka, Falsafah Ketuhanan, 2018: 155-157).
Menjadi suatu kewajiban bagi manusia, terutama umat Islam untuk selalu merenungkan alam semesta dengan akal pikiran dan hati yang bersih, niscaya akan tersingkap tiga sifat Sang Pencipta: Jamal (indah), Jalal (agung), dan Kamal (sempurna).
Dengan pikiran yang jernih, akal dan fitrah mau berpikir, merenung dan bersikap jujur, maka insyaAllah akan muncul satu kesimpulan bahwa tidak mungkin alam semesta bisa wujud dengan sendirinya dan tidak mungkin fenomena alam terjadi dengan sendirinya.
Akal manusia pun sulit untuk menolak jika ada satu Dzat yang mengadakan dan menggerakkan semua itu. Semua keindahan, keteraturan, kesempurnaan yang ada di alam ini, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dengan memikirkan semua itu, maka seorang akan menerima konsekuensi berupa pandangan alam (worldview) yang selalu mengikutsertakan kewujudan dan peran Allah dalam memandang realitas atau fakta yang ada.
Ketika Allah senantiasa diikutsertakan dalam penginderaan suatu realitas, maka akan ada saja hikmah-hikmah di balik penciptaanNya itu, sehingga keluar dari mulutnya kalimat, “Rabbana maa khalaqta haadza baathila” (Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia).
Cara pandang yang senantiasa melibatkan Allah (Bismillah) seperti itulah yang menuntunnya untuk terus berbuat baik kepada alam semesta dengan memanfaatkannya, bukan merusaknya. Cara pandang seperti ini berbeda dengan cara pandang sekulerisme yang menolak untuk melibatkan Allah dalam mengindera segala sesuatu. Cara pandang sekuler hanya melihat objek sebatas aspek materi dan sebatas dunia ini saja.
lanjut baca,