Oleh: Dr. Adian Husaini (Direktur Attaqwa College)
”Wanita yang menikah telah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami).” (Sarah Grimke, 1838)
Murad W. Hoffman, Duta Besar Jerman di Maroko (1990-1994), yang kemudian menjadi Muslim, secara serius mengingatkan umat manusia. Bahwa, sejak abad ke-18, orang Eropa percaya, peradaban mereka adalah peradaban paling mulia, yang pantas mendominasi alam semesta.
“Di kampung global yang baru dan ‘berani’ ini, kebiasaan makan, mode, kecantikan ideal bagi wanita maupun pria, pengaturan waktu santai, norma-norma seksual, arsitektur, musik – apa saja – semuanya mengekor gaya Barat. Semua berkiblat ke Barat – dan yang lain tidak mendapat tempat. Padahal, masih ada alternatif bagi paradigma Barat, dan itu adalah Islam,” tulis Hoffman dalam bukunya Islam: the Alternative.
Peringatan Hoffman ini patut kita renungkan, sebab kini Barat sedang gencar-gencarnya melakukan westernisasi pemikiran kaum Muslim. Disamping paham Sekularisme, Libralisme, dan Pluralisme, salah satu proyek besar yang kini dijejalkan kepada kaum Muslim adalah proyek Kesetaraan Gender.
Kini, dunia Islam dan umat Islam pun dipaksa mengikutinya. Cara mengukur kemajuan perempuan dan kemajuan negara dipaksa mengikuti standar nilai Barat. Misalnya, diukur sejauh mana keterlibatan mereka di ruang publik. Dibuatlah ukuran bernama Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) suatu negara.
Lanjut Baca.