Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kontroversi materi pendidikan “sexual consent” di suatu Perguruan Tinggi terus bergulir di tengah masyarakat. Berbagai kalangan resah dan kemudian bereaksi keras atas materi ajar yang dinilai mendorong terjadinya legalisasi dan pembudayaan perzinahan. (Lihat: https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2020/09/21/192450/mantan-direktur-kemahasiswaan-ui-benarkan-adanya-materi-sexual-consent-dalam-materi-pkkbm-ui-2020.html).
AILA (Aliansi Cinta Keluarga) Indonesia adalah salah satu lembaga yang aktif menyuarakan kritiknya terhadap pendidikan “sexual consent” yang ramai diperdebatkan. Selama ini, AILA dikenal sangat peduli terhadap kebijakan terkait anak, perempuan dan keluarga. Pada 21 September 2020, AILA mengeluarkan pernyataan penting. Berikut beberapa poin pernyataannya:
- Pendidikan seksual berbasis ‘consent’ atau persetujuan, pada intinya bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan bukan merupakan pendekatan yang tepat dalam menyelesaikan problem kejahatan seksual di masyarakat seperti perkosaan, pelecehan dan perilaku seksual menyimpang.
- Konsep pendidikan seksual berdasarkan persetujuan (consent) justru telah membuka ruang bagi kebebasan seksual, karena menekankan pemahaman bahwa aktivitas seksual yang benar adalah yang berdasarkan kesepakatan (suka sama suka), tanpa mempedulikan legal atau tidaknya hubungan seksual tersebut. Padahal bukti-bukti empiris menunjukkan banyaknya kejahatan terkait seksualitas, dimulai dari hubungan yang tidak legal dan menyimpang.
- Pendidikan seksual seharusnya menekankan pada “pendekatan preventif” yaitu mengajarkan “safe behavior” kepada anak didik agar mereka mampu mengenali, mengidentifikasikan situasi/kondisi dan perilaku yang tidak aman, yang dapat mengundang kejahatan seksual serta mekanisme pelaporannya. Termasuk di dalamnya mengajarkan cara mencegah dan menghindari tindakan seksual menyimpang, seperti LGBT dan perzinaan. Pendekatan preventif juga lebih efektif karena bisa menumbuhkan perilaku ‘active caring’ di lingkungan sekolah ataupun di masyarakat karena sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama yang sudah mengakar dalam budaya Indonesia.
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 54, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Dalam hubungannya dengan pendidikan seksual, maka keterlibatan keluarga tidak dapat diabaikan dan harus diutamakan, karena keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama bagi anak. Sekolah atau pun institusi pendidikan berperan sebagai mitra untuk membantu keluarga, agar pelaksanaan pendidikan berlangsung lebih sistematis dan efektif. Oleh karena itu, strategi pendidikan terkait seksualitas mutlak memerlukan cara pandang dan strategi yang sama, terarah serta berkesinambungan antara keluarga dan institusi pendidikan, sehingga tidak menyebabkan “pertentangan nilai” yang dapat merugikan kepentingan anak didik itu sendiri.
Oleh karena itu, AILA Indonesia menghimbau seluruh stake holders pendidikan termasuk pemerintah Indonesia, agar dapat mengantisipasi dan mencegah masuknya paradigma “sexual consent” dalam berbagai kebijakannya, terlebih pendekatan tersebut sudah dikritisi oleh berbagai lembaga yang peduli terhadap institusi keluarga di seluruh dunia.
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/perjuangan-aila-melawan-liberalisasi-seksual