Artikel ke-1.531
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 13-15 Mei 2023, saya berkesempatan menghadiri sejumlah acara di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Pertama, acara Rapat Koordinasi pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kalsel. Kedua, mengungjungi sejumlah tempat bersejarah di Banjarmasin, seperti Masjid Sultan Suriansyah, Makam Pangeran Antasari, dan juga Makam Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, di Martapura.
Tahun 2010 lalu, saya pernah ke Banjarmasin, menghadiri seminar Pendidikan Islam di IAIN Antasari. Sekarang sudah menjadi UIN Antasari. Ketika itu, saya menyampaikan paparan tentang Konsep Pendidikan Mohammad Natsir.
Dalam beberapa kesempatan di Banjarmasin itu, saya menyampaikan tentang pentingnya kesadaran sejarah. Sejarah bukan sekedar kenangan atau sekedar cerita masa lalu. Sejarah itu mengandung nilai-nilai yang perlu dipahami dan direkonstruksi kembali dan diambil nilai-nilainya untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masa kini.
Bahwa, bumi Banjar (Kalsel) memiliki khazanah sejarah yang agung. Itu tidak diragukan. Salah satu peninggalan yang unik dan menarik adalah Masjid Sultan Suriansyah. Disebutkan, bahwa Masjid Sultan Suriansyah adalah masjid tertua di Pulau Kalimantan. Masjid yang terletak di tepi Sungai Kuin, Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjar Kota, Kodya Banjarmasin ini dibangun antara tahun 1525-1550 M, pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah, Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Jarak Masjid dari Makam Sultan Suriansyah hanya sekitar 500 meter.
Saat saya memasuki masjid dan shalat dua rakaat, terasa sura masjid yang klasik dan unik. Menurut Ketua Dewan Da’wah Kalsel, H. Charani Idris, masjid ini seratus persen dibangun dari kayu ulin, sehingga kuat bertahan selama 500 tahun. Bisa dikatakan masjid ini merupakan salah satu masjid kuno yang terindah yang pernah saya kunjungi. Syukurlah, masjid ini masih bisa bertahan hingga sekarang.
Dalam buku berjudul Perang di Kalimantan 1859-1863: Menguak Peranan Pangeran Hidayatullah, karya Drs. Yanuar Ikbar, MA, Ph.D., disebutkan, bahwa pada kira-kira tahun 1520-1546, pengeran dari Kerajaan Hindu yang terakhir bernama Samudera, kemudian memeluk agama Islam. Dia dinobatkan sebagai Sultan pertama di Kesultanan Bajarmasin.
Kerajaan Hindu yang bernama Daha – tempat dimana Pangeran Samudera berada – berubah menjadi Kesultanan Banjarmasin. Rajanya bergelar Sultan Suriansyah yang dikenal pula sebagai Panembahan Batu Habang. Ketika itu Islam telah menjadi agama resmi Kesultanan Banjarmasin.
Jadi, Pangeran Samudera memeluk Islam pada tahun 1500. Itu sezaman dengan Kerajaan Demak. Disebutkan, bahwa keislaman Sultan Suriansyah juga dilakukan oleh pendakwah dari Kerajaan Islam Demak. Sayangnya, menurut buku Perang di Kalimantan, tidak didapatkan rincian proses Islamisasi terhadap Sultan Suriansyah. Bagaimana prosesnya ia menjadi muslim.
Lanjut baca, https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/perlu-merekonsruksi-jejak-jejak-peradaban-besar-di-banjar