Artikel ke-1.556
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 23 April 2023, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, genap berumur 62 tahun. Jadi, 62 tahun lalu, sejumlah tokoh Islam bersepakat mendirikan sebuah Kampus Islam dengan tujuan yang mulia. Tentu, menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita mulia para pendiri kampus ini.
Dalam situs resminya, UIKA mencantumkan tujuannya sebagai berikut: (1) Menjadi Universitas Islam yang memiliki keunggulan dalam proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang berbasis nilai-nilai keislaman dan penerapan teknologi; (2) Menghasilkan insan akademik yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan relevan dengan dinamika kebutuhan masyarakat; (3) Menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam, dan; (4) Terjalinnya kerjasama dalam lingkup nasional, regional, dan internasional dalam pelaksanaan program Caturdharma Universitas Perguruan Tinggi. (https://uika-bogor.ac.id/halaman/visi-dan-misi-tujuan).
Selama 62 tahun, UIKA Bogor telah melahirkan ribuan alumni yang telah memberikan kiprah nyata di tengah masyarakat. Tetapi, di tengah hegemoni peradaban materialisme-sekulerisme, UIKA pun mendapat tantangan yang sangat berat untuk mewujudkan tujuannya yang begitu mulia.
Melahirkan insan berakhlak mulia merupakan misi utama kenabian Rasulullah Muhammad saw: “Buitstu li-utammima makaarimal akhlaq.” Juga, sabda beliau: “Akmalul mukminiina ahsanuhum khuluqa.” Begitu kata Rasulullah saw. Bahwa, orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.
Akhlak adalah kondisi jiwa yang kokoh yang melahirkan perbuatan secara otomatis. Perbaikan akhlak harus dimulai dari pensucian jiwa (tazkiyyatun nafs). Inilah salah satu tugas kenabian, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah: 151 dan QS al-Jumuah: 2. Bahwa, tugas Nabi adalah menyampaikan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa umatnya, dan mengajar al-Kitab dan hikmah.
Jadi, sejalan dengan tugas kenabian, maka sejatinya UIKA telah berada di jalan yang benar. Yaitu, untuk mewujudkan – sesuai dengan tujuan Masyumi – “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan ilahi.”
Merenungkan perjalanan 62 tahun UIKA, jangan kita lupakan sejarah berdirinya universitas-universitas Islam di Indonesia. Ini merupakan bagian dari jihad fi-sabilillah dalam bidang keilmuan. Rasulullah saw bersabda: “Jaahidul musyrikiina biamwaalikum wa-anfusikum wa-alsinatikum.” (Berjihadlah melawan orang-orang musyik dengan hartamu, dirimu, dan lidahmu).
Pendirian berbagai universitas Islam di Indonesia tak bisa lepas dari peran besar Mohammad Natsir. Tahun 1937, Pak Natsir menulis makalah berjudul “Sekolah Tinggi Islam” (STI). Natsir memandang perlunya umat Islam memiliki satu universitas secara formal. Ketika itu, telah ada sejumlah universitas, seperti Technishe Hoge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta, dan Geneeskundige Hoge School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Ketiga universitas itu didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Etis, yang bertujuan mensekulerkan dan mengkristenkan umat Islam.
Lanjut baca,
RENUNGAN PERJALANAN 62 TAHUN UIKA BOGOR (adianhusaini.id)