Artikel ke-1.557
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Beberapa hari lalu, seorang santri menemui saya. Ia mau lulus pendidikan tingkat SMA. Ia meminta izin untuk kuliah di sebuah perguruan tinggi Islam; ingin mendalami ulumuddin. Ia berprinsip, sebelum menjatuhkan pilihan, harus mendapat restu orang tua dan gurunya.
Santri ini dikenal sebagai anak yang sholeh. Ibadah dan akhlaknya baik. Ia pun cukup pintar secara intelektual. Saya menyarankan dia untuk mengutamakan pada pengamalan ilmunya. Saya ingatkan, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan.
“Jangan memandang remeh ilmu yang sudah kamu dapat di pesantren,” nasehat saya padanya.
Santri itu telah mengkhatamkan puluhan kitab. Ia pun mengaku sudah mengajar adik-adiknya. Jika pulang ke rumahnya, saat liburan, ia juga aktif shalat berjamaah di masjid.
Mendengar ceritanya, maka saya sarankan untuk melanjutkan apa yang telah dilakukannya. Aktiflah di masjid! Bantulah masjid itu agar menjadi masjid yang makmur! Jika diberi kesempatan untuk mengajar di masjid, maka ajarkan ilmu-ilmu yang sudah didapat di pesantren.
Saya ingatkan kisah almarhum KH Aceng Zakaria – ulama Persatuan Islam – yang pernah berkunjung ke Pesantren At-Taqwa Depok. Beliau bercerita, bahwa gurunya, yaitu KH E. Abdurrahman, melarangnya untuk melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi.
Ketika itu, saya tanya, apa alasan KH E. Abdurrahman melarangnya kuliah di Perguruan Tinggi. Jawabnya, karena banyak yang kuliah kemudian tidak mau mengajar anak-anak SD. KH Aceng Zakaria menuruti nasehat gurunya. Setelah lulus Madrasah Mu’allimin Persis Bandung, beliau mengabdi di madrasahnya selama tujuh tahun menjadi guru. Kita mengenal beliau sebagai seorang ulama hebat, dengan karya tulis lebih dari 100 judul buku. Lebih dari 30 buku ditulis dalam bahasa Arab.
Ada kisah lain. Mohammad Natsir, setelah lulus SMA, menolak untuk melanjutkan kuliah ke universitas milik pemerintah kolonial. Ia memilih terjun langsung sebagai guru. Tapi, pada saat yang sama, ia juga aktif dan sungguh-sungguh belajar kepada guru-guru terbaik, seperti A. Hassan, Syekh Ahmad Soorkati, dan Haji Agus Salim.
Tak hanya itu, Mohammad Natsir pun aktif dalam kegiatan sosial-politik melalui organisasi Jong Islamieten Bond, atau organisasi pemuda Islam. Jadi, pada usia 20-an tahun, Mohammad Natsir telah berkecimpung langsung dalam memikirkan dan mengatasi masalah umat Islam Indonesia.
Itu juga yang dijalani oleh Buya Hamka dalam proses pendidikannya. Ia berguru kepada guru-guru terbaik. Dan pada usia 16 tahun, Hamka pergi ke Yogya dan berguru langsung dengan ulama-ulama dan tokoh pergerakan. Dengan kata lain, Buya Hamka menjalani proses pendidikan yang memadukan secara harmonis antara intelektualisme dengan aktivisme.
Mohammad Natsir, Buya Hamka, KH Aceng Zakaria dan banyak ulama lainnya, bukan hanya belajar ilmu untuk sekedar menumpuk-numpuk ilmu dan memanjangkan gelar akademik. Mereka mencari ilmu untuk diamalkan dan diajarkan. Itulah ilmu yang bermanfaat. Mereka memahami dan peduli dengan problematika umat dan memahami pula cara menyelesaikan problematika umat itu. Lalu, mereka terjun langsung dalam kancah perjuangan.
Lanjut baca,
JANGAN MEREMEHKAN ILMU YANG SUDAH DIDAPAT (adianhusaini.id)