Artikel ke-1.664
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Al-Quran memberikan perumpaan yang indah tentang kondisi masyarakat yang sejahtera dan bahagia dalam Surat Ibrahim ayat 24-26: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah membuat kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka ingat (mengambil pelajaran). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat (tegak) sedikit pun.”
Ayat al-Quran ini memberikan dasar yang tegas, bahwa kehodupan masyarakat yang sejahtera dan bahagia tidak akan diraih kecuali dengan berasas kepada Tauhid. Yakni, keyakinan yang kokoh bahwa Allah (Tuhan Yang Maha Esa) adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah manusia, yang wajib ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Orang Muslim, di mana pun berada, pasti sangat setuju dengan prinsip ini dan pasti bersyukur jika dirinya dapat menjadi manusia yang taat kepada Tuhan. Lawan dari Tauhid adalah syirik (kemusyrikan). Luqmanul Hakim, tokoh bijak yang diabadikan dalam al-Quran, mengajarkan kepada kita sebuah dasar pendidikan: “Wahai anakku, janganlah menserikatkan Allah dengan yang lain, sebab syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS Luqman:13). Karena itulah, para tokoh Islam Indonesia menekankan pentingnya Tauhid dalam mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, tahun 1945, akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Tokoh NU KH Achmad Siddiq, dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Departemen Agama, (Jakarta, 1984/1985), juga menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Masyarakat Melayu Rempang adalah orang-orang Muslim, yang tentu sangat bersyukur, jika mereka dapat menikmati kehidupan yang layak dan dapat beribadah dengan baik. Dengan itulah mereka dapat merasakan kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Dalam buku Menjana Negara Sejahtera dan Bahagia Menjelang 2020, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud menulis artikel berjudul “Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia dalam Konteks Pembinaan Negara Maju”.
Lanjut baca,
SEMOGA KESEJAHTERAAN DAN KEBAHAGIAAN AKAN HADIR DI REMPANG DAN SELURUH INDONESIA (adianhusaini.id)