SOEKARNO DAN NATSIR TENTANG AIR LIUR ANJING

SOEKARNO DAN NATSIR TENTANG AIR LIUR ANJING

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

     Ada kisah menarik seputar dinamika hubungan antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Keduanya dikenal sebagai sosok negarawan dan juga cendekiawan yang luas wawasan. Tapi, keduanya juga memiliki corak pemikiran yang berbeda dalam sejumlah hal. Polemik antara kedua tokoh ini pun sudah terjadi sebelum kemerdekaan.
     Salah satu contoh perbedaan antara kedua tokoh itu dalam soal pemikiran Islam, adalah pandangan mereka tentang kedudukan akal dalam Islam. Contohnya adalah soal air "liur anjing".
Adalah menarik mencermati cara Mohammad Natsir mengkritik pemikiran "rasional" Soekarno.
Satu misal, Natsir mengkritik cara Soekarno dalam memahami hadits Nabi tentang cara membersihkan air liur anjing, sebagaimana dimuat dalam artikel Soekarno berjudul "Masyarakat Kapal Udara" (Majalah Pandji Islam, 22 April 1940).
    Soekarno bercerita, "Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak, Ratna Juami, berteriak: "Papi, papi, si Ketuk menjilat air di dalam panci."
     Saya menjawab: "Buanglah air itu dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin." Ratna termenung sebentar, kemudian ia menanya: "Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci itu mesti dicuci tujuh kali, antaranya satu kali dengan tanah?"
Saya menjawab: "Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin!"
    Natsir berbeda pendapat dengan Soekarno dalam soal ini. Ia memandang, bahwa dalam soal mencuci dengan tanah itu ada aspek ubudiyah dan aspek keduniaan, sebagaimana dalam shalat ada aspek ubudiah dan juga ada aspek pergerakan badan.
     Bagaimana pun, kata Natsir, aspek pergerakan badan dalam shalat tidak bisa ditukar dengan badminton, misalnya. Begitu juga, dalam shalat ada unsur-unsur cara melakukan konsentrasi pemikiran. Tapi, shalat tetap tidak bisa ditukar dengan tetirah di hutan-hutan seorang diri, misalnya. (Lihat Endang Saifuddin Anshari (ed), Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis Mohammad Natsir di tahun 1930-an).

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/soekarno-dan-natsir-tentang-air-liur-anjing

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar