Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tahun 2021, penerbit Gramedia Pustaka Utama, menerbitkan buku berjudul ”Misionarisme di Banten”, karya Mufti Ali, Ph.D. Buku ini berasal dari hasil penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda. Buku ini menyimpulkan bahwa gerakan misi Kristen di Banten tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, karena kuatnya resistensi masyarakat Banten.
Pada tahun 1704, Sultan Banten menjatuhkan hukuman mati kepada seorang perempuan keturunan ningrat. Ia dihukum mati karena dianggap melanggar hukum syariat Islam yang menetapkan hukuman mati bagi pelaku riddah (perpindahan agama). Murtad adalah sebutan untuk orang yang keluar dari agama Islam.
Sultan Ageng Tirtayasa (w. 1698) menganggap kehadiran Belanda Kristen di wilayah Banten sebagai ”racun kebudayaan” yang harus segera dienyahkan sebelum berakibat fatal. Secara umum, reaksi masyarakat Banten terhadap misionaris Kristen memang tegas dan keras. Dikabarkan dalam buku ini, bahwa hal itu juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Hanry Layman dan Samuel Munson, dua orang misionaris Amerika, ditemukan meninggal di Tanah Batak pada tahun 1834. Tahun 1868, istri Harthoom, misionaris swasta, dibunuh di Pamekasan, Madura, karena resistensi mereka terhadap upaya Kristenisasi. Di Tabanan Bali, seorang misionaris Belanda dibunuh oleh penduduk setempat pada tahun 1860-an.
Masyarakat Banten juga melakukan pengasingan terhadap kaum yang murtad. Di Kampung Sawah, pendeta Komunitas Kristen ditangkap, dan jamaahnya melarikan diri ke Jakarta. Bagi yang tidak ikut melarikan diri, disarankan untuk mengikuti ritual keagamaan Islam, seperti salat Jumat dan sunatan.
Masyarakat Sunda secara umum memang dikenal identik dengan Islam. Bahwa, seluruh orang Sunda adalah muslim. Agar tidak mengalami ”peminggiran” dan ”pengasingan”, maka warga Kristen melakukan upaya asimilasi kultural. Salah satunya adalah dengan melakukan reinterpretasi terhadap dogma Kristen yang melarang sirkumsisi (sunat), yang dalam istilah Sunda disebut ”ngabersihan”.
Tahun 1933, ada komunitas Kristen Sunda yang menerima sunatan atau ”ngabersihan”. Masyarakat muslim memandang bahwa kaum yang tidak disunat adalah kaum yang tidak bersih, sehingga ”tercemar”, dan karenanya harus diasingkan.
Tradisi sunatan yang dipraktikkan oleh sebagian Kristen Sunda ini ditentang oleh para pendeta Protestan Belanda. Sebab, sunatan itu dipandang sebagai tradisi Islam dan yang melakukannya dipandang sebagai bentuk ”adaptasi terlarang”. Larangan ini semakin membuat orang Kristen Sunda semakin terasing.
Bentuk respon lain yang dilakukan oleh masyarakat Banten terhadap orang yang murtad adalah dengan meracun anggota keluarga yang murtad. Ditulis dalam buku ini: ”Bahkan C. Albers, seorang utusan Injil paling senior di Jawa Barat, melaporkan pada 1872, bahwa terdapat sejumlah kasus orang Kristen atau calon pemeluk Kristen Sunda mati mendadak akibat diracun oleh keluarga atau sanak familinya. Peracunan ini tidak lain adalah resistensi masyarakat Sunda terhadap konversi ke Kristen. Bila di Jawa Barat, kematian akibat diracun tersebut menimpa orang Sunda yang masuk Kristen, di Banten (Leuwidamar) kematian tersebut menimpa tenaga misionaris Belanda.”
Demikian kutipan respon Raja dan masyarakat Banten terhadap misionaris dan orang yang murtad di daerah Banten, di masa kolonial, sebagaimana ditulis dalam buku ini.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/sultan-banten-pernah-menghukum-mati-orang-murtad