Oleh: Dr. Adian Husaini
Hiruk pikuk soal Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 dan berbagai masalah ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya, sebenarnya berakar dari perbedaan cara pandang terhadap realitas di antara warga masyarakat. Umat manusia masih didominasi oleh pandangan alam (worldview) sekuler. Worldview inilah yang mendominasi pandangan hidup masyarakat Barat.
Muhammad Asad (Leopold Weiss) – seorang tokoh Yahudi yang masuk Islam -- mencatat, bahwa Peradaban Barat modern adalah peradaban yang materialistis dan anti-agama. Peradaban Barat tidak mengenal pertimbangan akhirat. Kata Mohammad Asad:
”The modern West is ruled in its activities and endeavours almost exclusively by considerations of practical utility and dynamic evolution. Its inherent aim is experimenting with the potentialities of life without attributing to this life a moral reality of its own… But modern western civilization does not recognize the necessity of man’s submission to anything save economic, social, or national requirements. Its real deity is not of a spiritual kind: it is comfort. And its real living philosophy is expressed in a will for power for power’s sake.” Peradaban Barat modern, kata Asad, adalah peradaban yang tidak menolak Tuhan secara tegas. Tapi, tidak ada ruang untuk Tuhan dalam sistem berpikir Barat. “Such an attitude is irreligious in its very essence,” tulis Asad. (Dikutip dari buku Safwat M. Halilovic, Islam and the West: From Asad’s Point of View, (Cairo: Dar Al-Salam, 2005). Jadi, semangat peradaban Barat modern adalah semangat untuk menundukkan agama dalam perspektif materialisme dan relativisme mereka. Bagi mereka, tidak ada nilai dan kebenaran yang tetap. Semua nilai harus tunduk pada dinamika sejarah dan budaya. Apa yang baik untuk suatu tempat, belum tentu untuk tempat lain. Karena itulah, Barat tidak memiliki standar nilai kebenaran yang tetap. Relativisme nilai dan kebenaran ini kemudian juga masuk dalam model kajian Islam di Perguruan Tinggi. Ada yang menyebut sebagai ”Islam historis”. Yakni, pola Kajian Islam yang berupaya menundukkan Islam pada konteks waktu, tempat, dan budaya tertentu. Sesuai asumsi relativitas nilai semacam ini, maka tidak ada hukum atau ajaran Islam yang dipandang tetap, karena produk hukum merupakan produk akal manusia. Karena nilai-nilai Barat modern merupakan nilai-nilai yang dominan saat ini, maka pola Kajian Islam Historis dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk menyesuaikan Islam dengan modernitas. Tujuannya, agar Islam bias diterima oleh dunia modern (Barat).
Dalam bukunya Islam versus the West, Maryam Jemeela – seorang keturunan Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus – memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental. Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekular, akan berujung pada pemusnahan Islam. (The imitation of Western ways of life based on their materialistic, pragmatic, and secular philosophies can only lead to the abandonment of Islam). (Maryam Jameela, Islam versus The West, (Saudi Arabia: Abul Qasim Publishing House, 1994).
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas memberikan kritik tajam terhadap karakteristik peradaban Barat modern. Bahkan, kata al-Attas, belum pernah manusia mengalami kekacauan seperti saat ini ketika pengaruh peradaban Barat menguasai umat manusia. “Many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed by Western Civilization,” tulis al-Attas. (Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002, vol 2).
Dalam buku klasiknya, yang ditulis tahun 1930-an, Islam at the Crossroads, Muhammad Asad menekankan, bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi atau kebangkitan umat Islam adalah kecenderungan untuk peniruan pada pola hidup Barat. Kata Asad, “The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization.”
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/akar-masalah-kita-dalam-perspektif-peradaban