Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
“Sejak kecil saya senang sejarah,” kata Ahmad Adaby Darban, saat saya temui, Sabtu (8/8/2009) di kediamannya, Kauman Yogyakarta. Cita-citanya untuk menekuni sejarah tercapai ketika pada tahun 1973 Adaby Darban diterima sebagai mahasiswa jurusan sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Sebagai anak yang hidup di lingkungan perjuangan Islam di daerah Kauman Yogya, Adaby Darban sudah biasa bersikap kritis terhadap pelajaran yang diterimanya. Saat duduk di bangku SMA, ia sempat terlibat perdebatan dengan guru sejarahnya yang menyatakan bahwa justru Sultan Agung adalah yang mengundang kedatangan Belanda. Adaby tidak bisa terima penjelasan gurunya, karena tidak sesuai fakta sejarah yang dipelajarinya. “Saya konflik dengan guru saya,” katanya mengenang.
Maklum, sejak duduk di bangku SMP, Adaby sudah aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Tahun 1974-1976, ia dipercaya memegang posisi sebagai Ketua Umum Pengurus Daerah PII Kodya Yogyakarta. Aktivitasnya di Muhammadiyah dimulai sebagai Sekretaris Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah Sosrokusuman Danurejan Yogyakarta (1967-1969). Kecintaannya kepada buku, mengantarkannya pada posisi penting di Muhammadiyah sebagai Ketua Majlis Pustaka (1995-2000).
Dengan lingkungan keluarga dan perjuangan seperti itu, tidak heran, jika sejak usia muda, Adaby sudah mampu bersikap kritis terhadap berbagai informasi sejarah. Di bangku SMA, dia sudah dapat mengkritisi soal penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Menurut pemahamannya, lebih tepat Hari Kebangkitan Nasional adalah kelahiran Sarekat Islam. Dua orang tokoh disebutnya telah banyak memberi informasi tentang sejarah Islam, yaitu Imam Suhadi, guru besar hukum di UII dan juga Yusuf Abdullah Puar.
Karena itulah, saat memasuki jurusan sejarah di UGM, Adaby bertekad untuk mengungkap kebenaran sejarah sesuai dengan fakta dan kebenaran. Sejarah memang sangat tergantung kepada siapa yang menulisnya. Akan tetapi, tentu saja harus sesuai dengan batas-batas dan sumber-sumber yang tersedia. Adaby sangat serius menekuni bidang sejarah. Tahun 1982, dia diangkat menjadi dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, hingga wafatnya. Tesis masternya yang berjudul “Rifa’iyyah: Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah Tahun 1850-1982” telah diterbitkan menjadi buku.
Prestasinya sebagai staf pengajar di UGM juga cukup lumayan. Tahun 1985, dia meraih penghargaan sebagai Dosen Teladan I tingkat fakultas. Tahun 1986, juga menjadi dosen teladan II tingkat UGM. Tahun 1992-1997 menjabat sebagai Ketua Jurusan Sejarah UGM. Tahun 1997-1998, dipercaya sebagai ketua Program Studi Kearsipan (Diploma III) Fakultas Sastra UGM.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/amanah-sejarawan-ahmad-adaby-darban