Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketika Presiden Joko Widodo menyebut soal Bipang (Babi Panggang), ada sejumlah orang yang membuat tayangan video tentang kelezatan babi panggang. Entah apa maksudnya video-video itu dibuat. Bagaimana sebenarnya status hukum makan babi menurut agama Kristen dan Islam. Berikut ini paparan ringkasnya.
Dalam agama Kristen, cukup menarik jika dicermati sejumlah versi teks Perjanjian Lama Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1971 ditulis: "dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu."
Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babi sudah berubah menjadi babi hutan: "Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu."
Kita paham, bahwa masyarakat Barat – meskipun beragama Kristen – tetapi tidak menjadikan Bibel sebagai dasar bagi seluruh aspek kehidupan mereka. Pengalaman sejarah dan cara pandang terhadap agama mereka, kemudian memainkan peran besar dalam melahirkan peradaban Barat modern yang sekular-liberal. Agama dijadikan urusan privat.
Mereka mencampakkan agama dari sistem kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan ilmu pengatahuan. Maka, jadilah peradaban Barat sebagai peradaban yang tidak berdasarkan wahyu dan 'uswah hasanah' dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka pun tidak memiliki konsep hukum yang final. Kebenaran adalah relatif. Baik dan buruk manjadi relatif dan tidak berdasar kepada wahyu, tetapi berdasar kepada konsensus dan spekulasi akal.
Bibel tidak lagi dijadikan sebagai landasan bagi seluruh konsep kehidupan mereka. Bahkan, mereka menggunakan segala cara agar teks Bibel itu tidak mengikat seluruh kehidupan mereka. Itu terjadi, misalnya, dalam kasus hukum tentang perzinahan, homoseksual, dan juga berbagai makanan yang diharamkan dalam Bibel. Mereka kemudian mencari penafsiran yang menjadikan mereka terbebas dari hukum-hukum Bibel (hukum Taurat).
Misalnya dalam soal makanan haram. Mereka menjadikan The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), sebagai rujukan dalam menginterpretasikan larangan memakan binatang-binatang yang diharamkan dalam Bibel. Kata mereka, larangan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan larangan untuk mencontoh sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu.
Jika dibaca dalam Bibel, Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi, burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon.
"Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu." (ayat 8). Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk "Binatang yang haram dan yang tidak haram." Pada ayat 35 disebutkan: "Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu."
Bisa dibayangkan, jika konsep makanan haram dan najis, ini diterapkan secara literal, apa jadinya orang Barat yang hobi makan babi dan memakan binatang yang jelas-jelas diharamkan dalam Bibel. Dengan kondisi faktual teks Bibel semacam itu, jelas sekali penafsiran secara literal tidak memungkinkan, sehingga hanya kalangan Kristen fundamentalis yang masih menafsirkan Bibel secara literal.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/babi-dalam-panafsiran-kitab-kristen-dan-islam