Artikel Terbaru ke-2.036
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Sejak terjun sebagai reporter Harian Berita Buana dan Harian Republika tahun 1990-1998, saya berkesempatan bertemu dan beberapa kali mendengar ceramah Prabowo Subianto. Apa yang disampaikan oleh Prabowo ketika itu, secara umum, sama dengan apa yang ia pidatokan saat ini. Semangat patriotismenya yang hebat tercermin dari ucapan dan tindakan-tindakannya.
Karena itu, saat ini, harapan rakyat Indonesia kepada Presiden Prabowo sangat besar. Prabowo diharapkan mampu membawa perubahan besar pada kehidupan rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat belum menikmati cita-cita kemerdekaan, yakni kehidupan yang adil dan makmur. Padahal, kekayaan alam kita begitu melimpahnya.
Negara-negara lain sejak ratusan tahun lalu sudah menikmati kekayaan alam kita dan mereka tumbuh menjadi negara-negara makmur secara materi. Prabowo telah menggambarkan kondisi ini dalam bukunya: Paradoks Indonesia. Prabowo bahkan sudah berdoa kepada Allah, semoga ia diberi kesempatan – sebelum dipanggil oleh Allah – untuk mewujudkan cita-citanya itu, membawa bangsa dan rakyat Indonesia menjadi bangsa dan rakyat yang hidup sejahtera, bahagia, dan bermartabat.
Bagi kita umat Islam, tentu saja tidak cukup hanya berharap kepada Presiden Prabowo. Tetapi, juga mendoakan dan menyampaikan saran, agar beliau diberikan bimbingan dan kekuatan untuk menjalankan amanah yang sangat berat ini, dengan benar dan bijak.
Disamping itu, kita juga perlu bersikap realistis. Prabowo bukanlah superhero yang bisa melakukan apa saja, sendirian. Ia memerlukan dukungan dari jajaran para pembantunya dan juga rakyat yang cinta akan kerja keras dan pengorbanan. Ibarat tubuh yang terserang aneka rupa penyakit, banyak hal yang perlu diperbaiki dari kondisi pejabat, birokrat, dan masyarakat kita.
Dalam soal penegakan hukum, misalnya! Hukum akan tegak dengan adil jika empat hal ini dalam kondisi yang baik, yaitu: materi hukumnya, aparat penegak hukumnya, proses peradilannya, dan masyarakatnya. Jika masyarakat terbiasa melanggar hukum dan dibiarkan saja oleh aparat, maka lama-lama pelanggaran hukum itu dianggap hal biasa.
Tantangan berat Presiden Prabowo dalam mewujudkan tujuan pembangunannya adalah kondisi jiwa bangsa secara umum, yang telah kehilangan jiwa pengorbanan dan merebaknya penyakit cinta dunia yang berlebihan. Hal itu sudah diingatkan oleh Pahlawan Nasional, Mohamamd Natsir, pada 17 Agustus 1951, melalui artikelnya, berujudul: berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”
Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya.”
Presiden Prabowo tentu sangat mengenal Pak Natsir, sahabat dekat ayahnya. Menjelang wafatnya tahun 1993, Pak Natsir mengingatkan lagi, bahaya penyakit cinta dunia yang berlebihan, yang semakin menguat sejak era Orde Baru. Pendidikan dan Pembangunan yang terlalu berorientasi kepada kesuksesan materi berdampak pada tumbuhnya dua penyakit yang berhaya di tengah masyarakat. Dalam istilah Ki Hajar Dewantara, dua penyakit itu adalah “kemurkaan benda” (materialisme) dan “kemurkaan diri” (individualisme).
Lanjut baca,