BIARLAH RAKYAT MEMAHAMI SEJARAH SESUAI DENGAN WORLDVIEW-NYA MASING-MASING

   BIARLAH RAKYAT MEMAHAMI SEJARAH  SESUAI DENGAN WORLDVIEW-NYA MASING-MASING

 

 Artikel Terbaru ke-2.273

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

Dalam hal pemahaman sejarah, kita masih patut merasa prihatin.  Keprihatinan ini sudah disampaikan banyak ulama dan cendekiawan muslim di Indonesia dan di alam Melayu. Sebagai contoh, Buya Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, yang ditulis tahun 1960-an,  sudah mengritik keras pengajaran sejarah Indonesia yang lebih mengenalkan sosok Gajah Mada ketimbang Raden Patah.

Akibatnya, orang Muslim Indonesia tidak mengenal siapa itu Raden Patah, apa jasanya bagi umat Islam, dan tentu saja bangsa ini. Pak Natsir dalam berbagai tulisannya sudah banyak mengingatkan tentang dampak buruk pengajaran sejarah yang mengecilkan arti penting perjuangan Islam di Indonesia. Beliau sebut secara khusus, salah satu tantangan besar umat Islam Indonesia adalah paham nativisme. Yakni, paham yang memuja dan membesar-besarkan zaman pra-Islam, sehingga Islam dianggap tidak punya andil sejarah yang penting dalam perkembangan bangsa Indonesia.

            Padahal, para orientalis Belanda telah berdebat tentang masalah ini. Yang menyebut kebesaran Majapahit sebagai mitos adalah Prof C.C. Berg.  Jadi, memunculkan dan mengagungkan seorang tokoh sejarah sangat terkait dengan pandangan alam seseorang (worldview-nya). 

Inilah contoh pentingnya Islamic worldview bagi seorang Muslim dalam mempelajari sejarah. Bagaimana Islam memandang sejarah, tentunya tidak lepas dari pandangan alam (worldview) yang digunakannya. Kalau dia muslim, maka ia memandang dirinya sebagai pengikut dan pelanjut amanah perjuangan Rasulullah saw, yang tugas utamanya adalah menegakkan kalimah tauhid di muka bumi. Seorang muslim tidak akan memandang hebat dan tinggi segala bentuk kemusyrikan. Sebab, dalam surat Luqman ditegaskan, syirik itu adalah kezaliman yang besar (innasysyirka ladzulmun adhiim). Jadi, di titik mana dan dengan cara apa kita berdiri dan memandang sejarah? 

            Bagi penjajah Belanda, Pangeran Diponegoro adalah pemberontak. Bagi bangsa Indonesia, ia pahlawan bangsa. Lihatlah, kini, bagaimana nasib tentara Indonesia yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Timtim. Dulu, mereka disebut pahlawan. Tapi, kemudian pemerintah Indonesia mengakui bahwa Timtim memang bukan haknya Indonesia. Para pejuang integrasi Timtim sebelumnya dipuji, tapi setelah Timtim dilepas, mereka kemudian ditangkap.

            Kaum sekuler memandang dan menyusun sejarah berdasarkan worldview sekulernya, yang semata-mata melihat aspek duniawi dan fisik sebagai unsur terpentingnya, dengan mengabaikan aspek keimanan, ubudiyah, dan keakhiratan. Jadi, cara pandang inilah yang menentukan corak ilmu sejarah yang dipelajari. Sebab, dalam mengkaji sejarah itu tidak mungkin kita menampilkan semua fakta peristiwa masa lalu untuk dikaji. Kita hanya mengambil sebagian fakta atau kasus, yang tentu saja itu tergantung visi dan tujuan pengkajian itu sendiri.

lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/biarlah-rakyat-memahami-sejarah--sesuai-dengan-worldview-nya-masing-masing

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait