Artikel ke-1.324
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu ciri dari peradaban modern adalah pemujaan yang berlebihan terhadap kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan popularitas. Sampai-sampai, diadakanlah berbagai kontestasi dan perlombaan untuk memilih ratu-ratu kecantikan. Banyak tokoh agama dan budayawan telah memperingatkan bahaya kontes-kontes kecantikan semacam ini bagi kemajuan peradaban bangsa. Salah satunya adalah Dr. Daoed Joesoef, menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1982.
Dr. Daoed Joesoef menulis tentang tidak beradabnya kontes-kontes semacam itu: “… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Itulah pernyataan keras Dr.Daoed Joesoef soal kontes-kontes ratu kecantikan, seperti ditulis dalam memoarnya “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Daoed Joesoef tidak berlebihan. Masalah eksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis sudah banyak disorot pemerhati masyarakat. UGM Yogyakarta, tahun 2004, meluluskan sebuah Tesis S2, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku bertajuk: Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, karya Kasiyan, (Yogya: Ombak, 2008).
Deborah Lupton, dalam bukunya, Medicine as Culture: Illness, Disease and The Body in Western Societies (1994), seperti dikutip Kasiyan, mengungkapkan, bahwa tubuh perempuan dalam media massa menjadi alat yang sangat penting dalam berbagai proses social ekonomi, guna memberikan daya tarik erotis berbagai produk. “Di negeri kami, tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan buat biro iklan dan wartawan,” tulis budayawan Ariel Haryanto.
Menganalisis begitu dominannya pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan, dalam Tesisnya itu, Kasiyan mencatat, “… maka setiap potensi micro desire yang ada pada tubuh dan diri perempuan, telah dimanipulasi serta dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga menjadi tanda-tanda, dan akhirnya menjadi objek komoditas.”
Lalu, mengutip, pendapat Piliang (1998), ia paparkan, “Di sinilah para kapitalis lewat salah satu mesin provit-itas terefektifnya, berupa iklan di media massa, akhirnya mengejawantahkan dirinya menjadi seperti sesosok ‘mucikari’, yakni menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido publik, demi mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya secara ekonomis.” (Kasiyan, hlm. 247-248).
Era industrialisasi kapitalistik yang menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi berusaha mengakitkan segala objek kecantikan dengan konotasi seksual. Lihatlah, begitu banyak perempuan cantik dan seksi dijadikan sebagai simbol produk-produk yang sama sekali tidak ada terkait dengan tubuh perempuan. Iklan ban mobil, cat pembersih mobil, ban mobil, cat dinding, dan sebagainya dipaksakan dibintangi iklannya oleh perempuan seksi. Artinya, segala sesuatu harus diseksualkan dan dikaitkan dengan libido.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/bisnis-dan-pemujaan-berlebihan-terhadap-kecantikan