DEBAT SOAL MUSIK DAN KEJENIUSAN SERTA KEBIJAKAN DAKWAH ULAMA NUSANTARA

DEBAT SOAL MUSIK  DAN KEJENIUSAN SERTA KEBIJAKAN  DAKWAH ULAMA NUSANTARA

 

Artikel Terbaru ke-1.887

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dalam bukunya, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011), Pakar Sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan kejeniusan dan kreativitas para ulama dalam melaksanakan dakwah di kawasan Nusantara. Salah satunya adalah penyusunan dan penggunaan bahasa Melayu dalam dakwah.

Menurut Prof. Al-Attas, dakwah Islam di kawasan Nuantara atau (Melayu-Indonesia) ini dilakukan dengan sistematis dan perencanaan yang matang. Bukan asal-asalan dan sporadis. Kasus penggunaan bahasa Melayu bisa dijadikan contoh.            “… the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair … It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.” (Historical Fact and Fiction, hal. 32).

Dalam kasus bahasa Melayu, para ulama berhasil mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu dan kemudian berhasil menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di wilayah Nusantara ini.

Karena itulah, simpul Prof. al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam, merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. Menurut Prof. al-Attas, disamping faktor agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan.  Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber Cina dan Eropa, Prof. al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para pendakwah Islam yang utamanya adalah para ulama dari Arab.

            Sejumlah contoh kuatnya pengaruh Islamisasi dalam bahasa Melayu misalnya bisa dilihat dari masuknya nama-nama hari yang dimulai hari kesatu sampai hari ketujuh Ahad, Senin (Isnain), Salasa (Tsulasa), Rabu (Rabi’), Kamis (Khamis), Jumat, Sabtu (Sabi’). Masuknya kata Minggu, mengantikan Ahad, diduga berasal dari kata Domingo – dibaca Dominggo – yang merupakan hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis. Kata Domingo mulai digunakan pasca penaklukan Malaka oleh Portugis. Adalah kaum Kristen dan misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu mengantikan kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa Melayu-Arab. (Ibid,  hal. 136).

            Bukti lain dari kuatnya pengaruh Arab, khususnya dari wilayah Hadramaut,  – bukan Persia – dalan penyusunan bahasa Melayu adalah penggunaan lima simbol  lima fonem Melayu yang tidak ditemukan dalam fonem Arab, yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya.  Misal, untuk mendapatkan bunyi “Nya”, yang merupakan bunyi antara huruf “Nun” dan “Ya”.  Untuk mendapatkan bunyi “Nya”, dua titik huruf “Ya” ditambahkan ke huruf “Nun”, sehingga didapatkan huruf baru dengan titik tiga di bawah. Dengan tambahan lima huruf, maka alfabet Melayu-Arab menjadi 33 huruf. (Ibid, hal. 137-138).

Lanjut baca,

DEBAT SOAL MUSIK DAN KEJENIUSAN SERTA KEBIJAKAN DAKWAH ULAMA NUSANTARA (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait