Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kontroversi tentang perbedaan penetapan Hari Raya masih terjadi. Itu bukan hal baru dalam sejarah Islam. Perbedaan seperti itu tidak menjadi perbincangan serius, sampai melenakan hal yang wajib atau memecah belah umat.
Bahkan, di berbagai negeri muslim, masyarakat menyerahkan saja urusan ini kepada pemerintah. Kalau ada kesalahan penetapan, itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Di Malaysia, setahu saya, masyarakat menyerahkan saja urusan penetapan Hari Raya kepada pemerintah. Begitu juga di berbagai negara muslim lainnya.
Ada yang menganggap Indonesia memang beda, sehingga setiap anggota masyarakat dianggap boleh membuat pengumuman sendiri-sendiri tentang penetapan Hari Raya. Akibatnya, dalam satu RT bisa terjadi dua shalat Id di hari yang berbeda. Bahkan, di satu lokasi ada yang melaksanakan shalat Id dalam waktu dua hari secara bergantian.
Jika direnungkan, akar masalah soal penetapan Hari Raya dan berbagai masalah umat lainnya, memang masalah “ilmu”. Apa itu ilmu? Bagaimana menetapkan suatu informasi bisa disebut sebagai Ilmu? Dalam semua bidang ilmu, kita mengakui otoritas. Dalam lmu hadits, misalnya, kita mengakui otoritas Imam Bukhari, Imam Muslim, dan sebagainya.
Dalam ilmu Fisika, kita mengakui otoritas Ibn Haitsam, Newton, Einstein, dan sebagainya. Dalam ilmu Tafsir, kita mengakui otoritas Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ibn Katsir, dan sebagainya. Dalam ilmu Ushul Fiqih dan Ilmu Fiqih, kita mengakui otoritas Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Malik, dan sebagainya.
Dalam perspektif keilmuan Islam, ada sumber-sumber ilmu yang diakui, yaitu panca indera, akal, dan khabar shadiq. Melihat hilal itu perlu ilmu. Ilmu tentang “hilal” itu sendiri, dan juga ilmu tentang makna “melihat”. Apakah yang dilihat itu benar-benar hilal atau sejenis hilal? Apakah penglihatannya pasti benar, atau mungkin benar?
Panca indera kita terbatas kemampuannya. Di mata kita, bulan kelihatan kecil. Tetapi akal kita menyatakan, bulan itu besar. Di mata kita tongkat yang kita masukkan ke dalam air terlihat bengkok. Faktanya, tongkat itu lurus.
Bagaimana jika para ahli astronomi tidak mengakui hasil rukyatnya? Mana yang lebih dipercaya, penjelasan para ahli astronomi atau penglihatan seorang yang tidak punya otoritas ilmu tentang “hilal”? Mana yang lebih qath’iy, apakah ru’yat hilal atau hisab ahli ilmu astronomi?
Lebih jauh lagi, patut ditanyakan, dalam penetapan Hari Raya Idul Adha, patut didefinsikan, apa yang disebut “hari” dan bagaimana cara menentukannya? Mengapa hari di Indonesia dihitung lebih cepat dari Arab Saudi. Bolehkah kita bersepakat untuk melambatkan 20 jam waktu kita dengan Arab Saudi.
Semua ini perlu dibahas oleh para pakar dan para pemimpin umat secara terbatas. Kurang patut jika dibahas secara terbuka, sehingga menimbulkan kehebohan, bahkan saling menyalahkan. Padahal, ini soal ilmu. Ini soal ijtihadiyah.
Menurut hemat saya – mungkin tidak menurut hemat yang lain -- sebaiknya soal ini diserahkan kepada yang memiliki otoritas ilmu bersama pemegang otoritas kekuasaan. Selama mereka masih menggunakan metode yang tidak bertentangan dengan Islam, maka itu patut diterima. Jika para ahli ilmu berbeda pendapat, maka diterima saja sebagai realitas perbedaan. Yang memang boleh berbeda, tidak perlu dipaksa bersatu. Maaf. Ini sekedar pendapat.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/hari-raya-dan-masalah-ilmu