Adianhusaini.id, JAKARTA – Nama Muhammad Natsir dikenal luas sebagai pahlawan nasional dan negarawan ulung, terutama berkat jasa-jasanya dalam menyatukan kembali Republik Indonesia melalui Mosi Integral. Namun, Dr. Adian Husaini, dalam bukunya yang berjudul Muhammad Natsir Negarawan, Guru, Dai Teladan, menawarkan tinjauan yang lebih mendalam. Menurut Adian Husaini, kunci kepahlawanan Natsir—dan kunci kebangkitan bangsa—terletak pada perannya yang konsisten sebagai seorang guru dan dai, yang diwujudkan melalui semangat pengorbanan tanpa batas.
Buku ini disebut Adian Husaini sebagai "rumusan kebangkitan pendidikan dan negara kita ke depan." Ia menekankan bahwa pemikiran Natsir mengenai pendidikan harus dipahami oleh para pemimpin bangsa, mulai dari Presiden hingga para menteri.
Mengapa Bangsa Kehilangan Jiwa Pengorbanan?
Jauh sebelum Indonesia mencapai titik kritis, Muhammad Natsir telah memberikan peringatan keras. Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan, Natsir menulis sebuah artikel penting berjudul Jangan Berhenti Tangan Mendayung.
Dalam artikel itu, Natsir mengamati adanya perubahan bahaya dalam karakter bangsa. Bangsa yang semula dikenal suka berkorban, bahkan rela kehilangan anggota keluarga demi meraih kemerdekaan, telah bergeser menjadi bangsa "penuntut" (penuntut). Semangat gotong royong memudar, dan jiwa pengorbanan melemah. Masyarakat mulai bekerja dan bertindak hanya jika menguntungkan dirinya sendiri.
Adian Husaini menegaskan bahwa fenomena ini sangat serius. Jika suatu bangsa kehilangan jiwa pengorbanannya untuk masyarakat, maka bangsa itu akan mati dan lemah. Kondisi ini akan memicu munculnya egoisme, materialisme, dan individualisme. Menurut Natsir, semangat berkorban adalah esensi yang hilang dan merupakan problem utama bangsa saat itu, dan relevan hingga kini.
Filosofi Guru: Bukan Soal Gaji, tapi Jiwa
Pemikiran Muhammad Natsir tentang guru menjadi jantung dari konsep kebangkitan bangsa. Ia tidak menekankan pada gaji atau pendapatan, melainkan pada jiwa seorang guru.
Mengutip pakar pendidikan Belanda, Dr. Nieuwenhuis, Natsir pernah menegaskan bahwa suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada sekelompok guru di dalamnya yang mau berkorban untuk bangsanya. Natsir tidak hanya mengutip, tetapi juga menjadikan dirinya teladan hingga akhir hayat. Ia menolak tawaran kuliah formal di Belanda atau Jakarta dan memilih terjun sebagai guru tanpa bayaran. Bagi Natsir, guru adalah seorang pejuang.
Perbincangan mengenai guru hari ini, sayangnya, didominasi oleh isu gaji. Walau isu gaji itu penting—bahkan sangat penting—Adian Husaini menekankan bahwa jiwa guru jauh lebih penting.
"Kewajiban guru adalah berkorban, berjuang," kata Adian Husaini.
Dalam konteks keislaman, Natsir melihat perjuangan mengajarkan ilmu sebagai sebuah jihad. Merujuk pada Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, jihad melawan hawa nafsu dibagi menjadi empat tingkatan: jihad mencari ilmu, jihad mengamalkan ilmu, jihad mendakwahkan ilmu, dan jihad bersabar dalam menerima akibat dari mendakwahkan ilmu. Inilah semangat yang menjadi polaritas seorang guru sejati.
Kritik terhadap Pendidikan Materialistik
Adian Husaini mengkritik keras pendidikan modern yang kian materialistik dan kapitalistik. Dalam era ini, dakwah pun seolah-olah telah dianggap sebagai profesi dan pekerjaan. Institusi pendidikan kini diatur dengan jiwa yang bukan lagi jiwa pengorbanan.
Tujuan utama pendidikan modern sering kali berfokus pada hierarki berpikir tertinggi, seperti "to create" atau berinovasi, agar dapat menghasilkan lulusan yang diterima di perusahaan-perusahaan besar. Kriteria kampus terbaik diukur dari jumlah artikel di jurnal internasional, tingginya ranking, dan banyaknya guru besar. Standar moralitas, seperti kasus rektor yang ditangkap KPK karena suap, bahkan tidak memengaruhi peringkat kampus.
Padahal, sebagai muslim, nilai tertinggi yang diajarkan Rasulullah SAW adalah "Khairunnas anfauhum linnas"—manusia yang paling tinggi derajatnya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Nilai ini sangat bertentangan dengan standar materialistik yang tidak sejalan dengan konstitusi Indonesia, yang mengamanatkan pendidikan untuk meningkatkan iman, takwa, dan akhlak mulia.
Adian Husaini menegaskan, pendidikan tidak akan maju meskipun menteri diganti seribu kali, selama jiwa guru tidak diperbaiki. Mengutip sebuah mahfudzat (pepatah) pesantren: Wal ustazu ahamu minat thriqoh, waruhul ustaz ahamu min ustaz—jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.
Maka dari itu, Adian Husaini menyarankan agar gaji guru tidak dinaikkan melainkan dicukupkan. Kebutuhan pokok seorang guru, seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, dan kesehatan, harus dijamin. Dengan demikian, guru dapat fokus pada pengabdian dan perjuangan.
Natsir sebagai Pelopor Pendidikan Tinggi Islam
Peran Natsir dalam pendidikan tidak hanya sebatas konsep. Ia adalah tokoh pendidikan, bahkan pelopor berdirinya perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia.
Pada tahun 1938—tujuh tahun sebelum kemerdekaan—Natsir menulis artikel atau makalah yang menggagas pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI). Ide ini diwujudkan dengan berdirinya STI pada 8 Juli 1945. Natsir menjabat sebagai sekretaris panitia pendirian, yang diketuai oleh Bung Hatta. Salah satu mahasiswa angkatan pertamanya, Supianto Joyo Hadi Kusumo (paman dari Prabowo Subianto), kelak gugur sebagai pahlawan.
Meskipun Natsir tidak pernah mengenyam pendidikan formal di perguruan tinggi, ia dinilai memiliki pendidikan tinggi. Sebagaimana tokoh-tokoh besar lain seperti Sutan Syahrir dan Rosihan Anwar, Natsir membuktikan bahwa kehebatan seorang pejuang dan pemikir tidak ditentukan oleh ijazah formal, melainkan oleh keluasan ilmu dan kegigihan perjuangan.
Inilah warisan utama Muhammad Natsir: kepahlawanan yang tak terpisahkan dari peranannya sebagai guru dan dai. Ia membuktikan bahwa seorang politisi dan negarawan ulung dapat menjalankan profesinya dengan menjadikan jiwa guru dan dai sebagai landasan, sehingga perjuangannya tidak akan pernah bisa lepas dari pengorbanan dan integritas moral.
Buku Muhammad Natsir Negarawan, Guru, Dai Teladan disebut Adian Husaini sebagai panduan kebangkitan, sebuah peta jalan menuju bangsa yang kuat, yang hanya bisa dicapai jika kita kembali pada filosofi dasar: jiwa pengorbanan seorang guru.




