Oleh: Dr. Adian Husaini (Direktur Attaqwa College Depok)
Pada hari Sabtu-Ahad (18-19 Januari 2020), saya mengisi kuliah tentang Perguruan Tinggi Ideal di Pesantren Tinggi al-Badr, Kampar, Riau. Selama dua hari itu, saya menguraikan isi buku “Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi” (Depok: YPI, Attaqwa, 2019).
Ini adalah peristiwa penting dan bersejarah dalam pendidikan Islam. Untuk pertama kalinya ada sebuah kampus berbentuk Pesantren Tinggi mencoba memahami konsep Perguruan Tinggi ideal secara komprehensif. Dan itu bukan hal aneh bagi Pesantren Al-Badr.
Sejak tahun 1998, Pesantren Al-Badr sudah menyelenggarakan Pendidikan Tinggi berbentuk Pesantren Tinggi (Ma’had Aliy). Mereka memiliki sistem pendidikan yang unik. Lulusan SD yang mau melanjutkan ke Pesantren al-Badr harus siap menempuh pendidikan selama 10 tahun. Yakni, 3 tahun tingkat SMP, 3 tahun tingkat SMA, dan 4 tahun setingkat S-1. Semuanya berbentuk non-formal; murni pendidikan pesantren.
Setiap tahun, yang bersedia memasuki sistem pendidikan 10 tahun ini hanya sekitar 20-30 orang. Di tengah jalan pun, ada yang kemudian berguguran. Kadangkala, tinggal 10 orang saja yang bertahan sampai tuntas, menyelesaikan kuliah di al-Badr.
Padahal, Pesantren al-Badr memiliki pendidikan setingkat (SDIT al-Badr), dengan jumlah murid lebih dari 500 orang. Dengan lahan pesantren sekitar 4.000 meter persegi, pesantren al-Badr mampu eksis, dengan sistemnya sendiri. Mereka belum berminat untuk membuat SMPIT atau SMAIT.
Mereka berargumen, bahwa sistem pendidikan 10 tahun itu sudah teruji dalam sejarah. Mereka telah melahirkan lulusan-lulusan yang unggul, baik ilmu maupun akhlaknya, meskipun jumlahnya hanya sedikit. Semua lulusannya langsung tertampung sebagai guru di SDIT al-Badr dan siap ditugaskan di unit-unit kegiatan lain di lingkungan Pesantren al-Badr.
Pesantren ini juga menerapkan disiplin cukup tinggi dalam soal pola makan sehat model Tibbun Nabawiy dan juga mengembangkan bisnis herbal dan makanan halal. Pesantren Tinggi al-Badr memang mengkhususkan pada kajian Ekonomi Islam, ditopang dengan kajian kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang cukup kuat.
*****
Pesantren Tinggi al-Badr adalah contoh satu Perguruan Tinggi ideal yang insyaAllah akan mampu bertahan di era disrupsi. Sebab, ia memiliki jiwa mandiri. Juga, sangat menekankan aspek adab atau akhlak mulia, disamping keilmuan dan ketrampilan usaha. “Alhamdulillah, lulusan-lulusan kami sudah terbukti kualitasnya,” kata seorang pimpinan Pesantren al-Badr.
Dalam kuliah di al-Badr itu, setiap guru dan mahasiswa diberi hadiah buku Perguruan Tinggi Ideal dan diwajibkan untuk membacanya. Tampak keseriusan mereka mengikuti kuliah selama dua hari.
Seperti kita ketahui, di era disrupsi, ketersediaan informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi sangat melimpah di internet. Di era inilah bermunculan sistem kuliah massive open online courses (MOOCs) atau sistem blended learning – sekitar 75 persen pembelajaran dilakukan secara online. Akibatnya, kampus bukan lagi menjadi satu-satunya penyedia jasa informasi IPTEK.
Karena itu, jika suatu lembaga pendidikan tinggi masih sekedar mengandalkan “jualan” ijazah, gelar, atau pengetahuan, maka bisa diduga, lembaga itu akan kehilangan relevansinya. Sebab, semua itu sudah bisa digantikan dengan model pembelajaran online yang lebih praktis, murah, dan sudah dilegalkan.
Yang tidak bisa digantikan oleh model pembelajaran online adalah proses penanaman nilai kepada para mahasiswa. Inilah yang dalam Islam disebut sebagai ta’dib -- proses penanaman adab (inculcation of adab).
Karena itulah, di era disrupsi, kampus-kampus Islam harus segera berubah menjadi “pesantren” dengan mengutamakan penanaman adab atau akhlak mulia dalam proses pendidikannya. Pimpinan kampus dan para dosen tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga harus menjadi teladan, motivator dan inspirator kehidupan bagi para mahasiswanya.
Di era disrupsi, faktor kompetensi kepribadian, keilmuan, dan ketrampilan lebih diutamakan ketimbang gelar akademik. Dalam pidatonya di UI, 4 Desember 2019, Mendikbud Nadiem Makarim, menyampaikan, bahwa saat ini, kita memasuki era, dimana gelar tidak menjamin kompetensi.
Di Indonesia, dalam berbagai sektor kehidupan, gelar akademik memang masih diperlukan, karena masih ditopang oleh regulasi pemerintah. Banyak guru TK dan SD yang “terpaksa” harus mengambil gelar Sarjana Pendidikan, karena diwajibkan oleh pemerintah. Akibatnya, bermunculanlah kampus-kampus yang menawarkan kuliah untuk meraih gelar S-1. Tapi, di era disrupsi, sampai kapan regulasi ini bisa bertahan?
Dalam kuliah di al-Badr itu, saya sampaikan, bahwa Pesantren Tinggi al-Badr bisa menjadi salah satu model Perguruan Tinggi yang insyaAllah mampu bertahan di era disrupsi. Bahkan, akan semakin berkembang. Tentu, dengan disertai sejumlah perbaikan.
Model pendidikan di Pesantren Tinggi al-Badr sejalan dengan model pendidikan di Pesantren Tinggi Attaqwa (Attaqwa College) Depok, yang juga menekankan pada penanaman adab dan akhlak mulia, disamping penguasaan sejumlah kompetensi keilmuan dan ketrampilan. Jika di al-Badr lebih ditekankan pada aspek Ekonomi Islam, maka di Attaqwa College Depok lebih ditekankan pada aspek Pemikiran Islam dan kemampuan komunikasi tulisan dan lisan.
Alhamdulillah, dalam beberapa tahun terakhir, saya telah bertemu dengan banyak pimpinan Perguruan Tinggi Islam sejenis al-Badr dan Attaqwa College, di berbagai daerah. Kampus-kampus Islam itu adalah laksana mutiara-mutiara pendidikan yang sangat berpotensi tinggi untuk “digosok” dengan cermat dan tepat, sehingga semakin menampakkan “sinar”-nya di masa depan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 22 Januari 2020).