Debat publik soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) kian memanas. Isu ini terus “digoreng”, didorong oleh berbagai masalah di lapangan, seperti laporan keracunan makanan dan keluhan soal kualitas yang tidak memadai.
Adianhusaini.id, Jakarta-- Dalam diskursus yang riuh ini, muncul perbandingan yang tak terelakkan: Mengapa anggaran tidak digelontorkan untuk pendidikan gratis, yang dirasa lebih mendesak, terutama di daerah pelosok?.
Pertanyaan “Mana yang lebih penting?” ini menjadi inti perbincangan antara Fatih Madini dan Dr. Adian Husaini dalam podcast di kanal Adian Husaini. Namun, bagi Dr. Adian, perdebatan tersebut sebenarnya telah meleset dari akar masalah yang lebih fundamental.
Bagi Adian Husaini, meletakkan makan bergizi gratis dan pendidikan gratis dalam posisi berlawanan adalah sebuah kekeliruan. “Kalau dikatakan makan bergizi gratis atau pendidikan gratis, mana yang lebih penting? Dua-duanya penting,” ujarnya. Ia bahkan berargumen bahwa makan yang baik dan bergizi adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri.
Permasalahannya, menurut Adian, perdebatan ini terlalu sibuk di ranah teknis (makan atau biaya), padahal ada “yang lebih penting dari itu”.
Akar Masalah: Falsafah dan 'Budaya Ilmu'
Adian menegaskan bahwa masalah utama pendidikan di Indonesia bukanlah soal gratis atau bayar, melainkan soal “falsafahnya” dan “makna kata pendidikan itu”. Ia mengkritik pandangan bahwa pendidikan berkualitas harus gratis.
“Pendidikan itu memang tidak gratis,” katanya. Masalahnya bukan pada biaya, tetapi pada “akses”. Ia menyoroti sebuah ironi di masyarakat: ada orang yang rela “jual sawah” atau “ngutang ke bank” agar anaknya bisa kuliah di jurusan yang dianggap berpotensi menghasilkan uang banyak. Namun, ketika anak yang sama ingin kuliah di jurusan agama, mereka “pura-pura miskin” dan menuntut gratis.
Di sinilah letak masalah fundamentalnya. Menurut Adian, dalam pandangan Islam, mencari ilmu (pendidikan) bukanlah sekadar hak (hak) yang dituntut dari pemerintah, melainkan sebuah kewajiban (kewajiban) bagi setiap individu.
“Bagi kita umat Islam, pendidikan itu mencari ilmu itu bukan hak, tapi kewajiban,” tegasnya. “Jadi nggak bergantung sama pemerintah, mau sekolahnya roboh atau nggak roboh... mencari ilmu wajib.”.
Karena merupakan kewajiban, yang dibutuhkan bukanlah sekadar fasilitas gratis, melainkan “budaya ilmu”. Adian mencontohkan bagaimana bangsa Arab berubah dari “bangsa jahiliah” bukan melalui pendidikan gratis, melainkan karena Al-Qur'an mengubah “cara pandangnya terhadap ilmu”.
Ia juga merujuk pada ahlul sufah di zaman Nabi, seperti Abu Hurairah, yang hidup dalam kemiskinan ekstrem dan kelaparan hingga pingsan, namun tetap menjadi pembelajar, penulis, dan ahli ibadah. Mereka memiliki “jiwa pembelajar” yang tidak padam oleh kondisi fisik.
“Ada negara yang sangat kaya-raya tapi pendidikannya tidak maju, tidak menghasilkan ilmuwan-ilmuwan hebat,” tambahnya, menekankan bahwa biaya bukanlah segalanya.
Solusi: 'Adil', Bukan 'Gratis' Merata
Lantas, bagaimana dengan program MBG yang sudah bergulir? Adian menyarankan agar pemerintah tidak membuat mekanismenya menjadi rumit (“rumet”). Solusinya adalah fleksibilitas.
Ia mengkritik gagasan dapur terpusat yang harus melayani 3.000 porsi, yang ia anggap berat. Sebaliknya, ia mengusulkan agar dana diserahkan langsung ke sekolah atau pesantren. “Misalnya pesantren ataqwa ini ada 200 santri... ya sudah 200 aja. Kasih DANA itu ke sekolah, ke pesantren. Kan simpel,” jelasnya. Ia percaya lembaga pendidikan seperti pesantren sudah terbiasa mengelola dapur selama ratusan tahun tanpa masalah.
Jika ada sekolah yang menolak, pemerintah tidak perlu memaksa. “Kan enak. Yang mau silakan daftar,” ujarnya.
Pada akhirnya, Adian Husaini menarik kesimpulan bahwa solusi untuk bangsa ini bukanlah “gratis” secara merata, melainkan “adil”. “Ada yang makan gratis, ada yang tidak gratis. Ada yang pendidikannya gratis, ada yang tidak gratis. Ya kan itu namanya adil, sesuai dengan kemampuan masing-masing,” katanya.
Menurutnya, jika Indonesia kembali ke tujuan pendidikan yang termaktub dalam konstitusi—yaitu “membentuk manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia”—maka perdebatan teknis seperti MBG versus pendidikan gratis akan selesai dengan sendirinya. Sebab, fokusnya telah kembali pada pembentukan karakter dan “budaya ilmu”, bukan sekadar urusan perut atau biaya.





