Artikel Terbaru ke-2.153
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Saat ini di tengah masyarakat banyak sekali beredar analisis yang menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah masuk jebakan Joko Widodo dan dikendalikan oleh para pengusaha besar. Analisis itu antara lain didasarkan pada pekikan Presiden Prabowo, “Hidup Jokowi!” beberapa kali. Juga, adanya pertemuan Presiden dengan sejumlah pengusaha kakap di Istana.
Sebagai wartawan yang pernah empat tahun bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan (1994-1998), saya bisa memahami analisis semacam itu. Analisis itu bisa benar, bisa salah. Tapi, dalam budaya politik Jawa, kata-kata yang terucap belum tentu menunjukkan makna sebenarnya. Apalagi, sudah lazim dalam politik ada panggung belakang yang bisa berbeda dengan panggung depan.
Saya pernah mendapat cerita dari Pak Maftuh Basyuni (alm.). Semasa menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, ia memahami gaya komunikasi Presiden Soeharto. Sebagai orang yang mengenal budaya Jawa secara mendalam, Pak Harto memiliki gaya bahasa yang halus. Ia suka menggunakan bahasa Jawa tinggi (Kromo Inggil).
Pak Maftuh Basyuni mengakui, untuk mengambil hati Pak Harto agar menerima usulan-usulannya, ia beberapa kali menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil. Ia pernah mengusulkan penggantian wine dengan jus apel dalam acara-acara diplomatik. Dan Pak Harto menyetujuinya. Begitu juga ketika ia mengusulkan agar tradisi menyembelih kambing putih di acara Agustusan dihentikan.
Para menteri pun banyak yang paham akan bahasa Presiden Soeharto. Jika tidak setuju dengan sesuatu usulan menterinya, Pak Harto kadang kala diam, atau berkata dengan lembut: “Apa itu perlu?”
Para menteri sudah paham. Bahwa itu artinya Presiden tidak setuju. Hanya Pak Habibie (Menristek) yang berani menjawab dengan tegas, “Itu perlu Bapak Presiden.” Kasus itu terjadi ketika Habibie mengusulkan penandatanganan Piagam Cendekiawan Indonesia di Kota Mekkah. Begitu cerita Pak Maftuh Basyuni.
Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga berkisah dalam biografinya, bahwa ia pernah mengusulkan agar Perayaan Natal Bersama juga diselenggarakan di Istana Negara, sebagaimana Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Mendengar usulan itu, Pak Harto hanya diam. Dan itu artinya tidak setuju. (Lihat: buku berjudul Dia dan Aku, (Jakarta: Kompas, 2006),
Tugas kami sebagai wartawan di lingkungan Istana Kepresidenan biasanya hanya menunggu para menteri yang menghadap Presiden. Begitu selesai pertemuan, biasanya wartawan bertanya: Apa respon Presiden? Ada menteri yang menjawab, “Presiden hanya manthuk-manthuk!”
Nah, kami harus menafsirkan sendiri, apakan Presiden setuju atau tidak. Bisa jadi, Presiden manthuk-manthuk karena paham, tetapi belum tentu setuju dengan usulan sang menteri. Bisa juga, Presiden setuju. Itulah beberapa contoh gaya komunikasi Presiden Soeharto.
Saya tidak sempat bertugas di Istana lagi setelah Pak Harto lengser. Saya pernah mewawancarai Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster). Waktu itu pangkatnya Letnan Jenderal. SBY dikenal sangat memperhatikan masalah komunikasi. Sebelum hasil wawancara itu dimuat di media massa, ia harus membacanya terlebih dahulu.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/memahami-bahasa-politik-presiden