MENJAGA IMAN DENGAN MENGHORMATI, BUKAN MEMBENARKAN

MENJAGA IMAN DENGAN MENGHORMATI,  BUKAN MEMBENARKAN

 

Artikel Terbaru ke-2.187

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

 

            Dalam Muktamar NU ke-14 di Magelang, pada 1 Juli 1939, para ulama menegaskan bahwa kitab Taurat, Injil, dan Zabur yang ada di tangan kaum Kristen, Katolik, dan Yahudi sekarang ini bukanlah kitab samawiah yang wajib diimani kaum Muslim. Dalam Muktamar NU ke-13 di Menes Banten, 12 Juli 1938, diputuskan bahwa seseorang yang mengatakan kepada anaknya yang beragama Kristen, “Kamu harus tetap dalam agamamu”, yang diucapkan dengan sengaja dan ridha atas kekristenan si anak, maka orang tua tersebut telah menjadi kufur dan terlepas dari agama Islam. (Lihat:  Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN-NU) Jawa Timur).

Keputusan para ulama itu perlu disosialisasikan lagi dalam kondisi saat ini. Sebab, arus informasi yang sangat deras tak jarang menyebabkan kebingungan dan keraguan dalam soal keimanan. Dalam sejumlah acara dialog pendidikan dengan para guru dan siswa, saya mengedarkan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah tersebut. 

Al-Quran dan hadits Nabi sudah menjelaskan sejelas-jelasnya, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah SWT. (QS Ali Imran: 19 dan 85). Ini adalah masalah keimanan; masalah keyakinan. Soal hubungan sosial merupakan hal yang berbeda. Coba kita simak dan renungkan keputusan para ulama tersebut: ”bahwa seseorang yang mengatakan kepada anaknya yang beragama Kristen, “Kamu harus tetap dalam agamamu”, yang diucapkan dengan sengaja dan ridha atas kekristenan si anak, maka orang tua tersebut telah menjadi kufur dan terlepas dari agama Islam.”

Di situ jelas dikatakan, jika orang tua mengucapkannya dengan sengaja dan ridha atas kekristenan di anak, maka ia menjadi kufur dan terlepas dari agama Islam. Jadi, masalah ini berada di ranah pemikiran dan keyakinan. Orang tua itu saja yang perlu menilai apakah sejatinya ia telah kufur atau tidak. Apakah dia mengucapkan hal tersebut karena memang ia berpandangan seperti itu, atau hanya sekedar untuk basa-basi.

Yang jelas, dalam agama Islam, masalah iman dan kufur merupakan hal yang sangat mendasar. Jika seseorang keluar dari agama Islam (menjadi kufur), maka amal perbuatannya tidak ada nilainya sama sekali. Amalnya laksana fatamorgana. (QS An-Nur: 39).

Karena itulah, keputusan fatwa Muktamar NU tahun 1938 itu patut benar-benar direnungkan oleh semua kaum muslimin. Fatwa itu bukan hanya untuk warga NU. Sebab, ini menyangkut keselamatan iman dan diterimanya amal ibadah kita semua.

Jika ada yang tidak setuju atau memiliki pendapat berbeda dengan keputusan tersebut, kita serahkan kepada Allah. Masing-masing kita bertanggung jawab atas amal kita masing-masing. Tidak perlu ribut-ribut. Silakan yang setuju, dan silakan saja yang tidak setuju.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah mengaji Kitab Sullamut Taufiq, yang isinya menjelaskan tentang bahaya kemurtadan (riddah). Ada tiga bentuk riddah, yaitu riddah dengan itiqad, lisan, dan perbuatan. Kitab ini sangat menekankan, agar kita sebagai muslim sangat berhati-hati dan sungguh-sungguh dalam menjaga iman dari bahaya kemurtadan.

”Wajib bagi setiap muslim untuk menjaga Islamnya dari hal-hal yang merusak dan membatalkan Islamnya, yaitu riddah,” begitu ditegaskan dalam kitab yang biasanya dikaji di pondok-pondok pesantren ini.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menjaga-iman-dengan-menghormati,--bukan-membenarkan

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait