PANDANGAN SYEKH AL-QARADHAWI TERHADAP PENGHAFAL AL-QURAN

PANDANGAN SYEKH AL-QARADHAWI TERHADAP  PENGHAFAL AL-QURAN

 Artikel Terbaru ke-2.258

Oleh: Bana Fatahillah (Pengajar di Pesanren At-Taqwa Depok)

 

Syekh Yusuf Al-Qardhawi memberikan perhatian serius terhadap para penghafal al-Quran. Khususnya yang menganggap pesan Nabi saw yang berbunyi “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan al-Quran” maknanya sebatas menghafal al-Quran saja.

Menurut  Syekh Al-Qardhawi dalam kitabnya, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an al-Azhiim, menghafal adalah salah satu – sekali lagi salah satu — bentuk belajar al-Quran. Namun realitanya al-Quran bukan hanya soal hafalan. Hal ini bisa kita lihat dari firman Allah yang berbunyi:

            “Sungguh, Allah benar-benar telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika (Dia) mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul (Muhammad) dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci (Al-Qur’an) dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata”

            Kata “membacakan” (yatluu) dan “mengajarkan” (yu’allim) dalam ayat tersebut dipisahkan dengan huruf athaf. Ini menunjukan adanya perbedaan antara keduanya, sebab kaidah mengatatakan “al-Athaf yaqtadhi al-Taghyiir” (Athaf itu meniscayakan perubahan). Dan tidak diragukan lagi bahwa maksud pengajaran di sini bukanlah hafalan. Dan itu artinya mengajarkan lebih khusus dari membacanya.  

            Belajar dan mengajar al-Quran lebih tepat diartikan dengan At-Tadārus, sebagaimana dalam sebuah hadis: “Tidaklah segolongan orang berkumpul di salah satu dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara sesama mereka, melainkan ketentraman turun kepada mereka, rahmat melingkupi mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut mereka di atara orang-orang yang ada di sisi-Nya”

            Maka “tadarus” atau mengajarinya disini adalah usaha untuk mengetahui lafazh dan kalimat-kalimatnya, makna dan pengertiannya, pelajaran-pelajaran yang dituntunkannya dan apa yang ditunjukannya dari hukum-hukum dan adab. Tadaarus adalah bentuk tafa’ul dari kata darasa.  Artinya salah satu pihak atau beberapa pihak mengajukan pertanyaan, yang kedua menjawab, yang ketiga meneliti dan yang lain lagi membenarkan atau menyempurnakan. Inilah yang dimaksud dengan tadaarus.

            Pemaknaan seperti ini bisa kita lihat dari bagaimana para sahabat dulu dalam berinteraksi pada al-Quran. Pertanyaannya, apakah mereka hanya menghafalnya saja? Beberapa sahabat dulu enggan untuk menghafal surat baru sebelum mengamalkan apa yang sudah ia hafalkan sebelumnya.

            Al-Qaradhawi pun dengan tegas mengatakan: “Belajar al-Quran tidak cukup hanya dengan menghafal baris-baris dan ayat-ayatnya, tanpa memahami satu makna pun darinya. Meskipun begitu, orang yang hanya menghafalnya sudah mendapat pahala, namun ia pun harus memahami sesuai kadar kemampuannya”

            Akan tetapi, hafalan itu penting. Bahkan saya sendiri termasuk orang yang sangat menekankan aspek hafalan dalam hal apapun. Yang salah adalah bagaimana ia menempatkan hafalan yang lebih dari pemahaman; memberikan porsi yang tidak sesuai antara hafalan dan pemahaman.

            Dalam kitabnya Fiqh Awlawiyyat Al-Qardhawi menegaskan: “Bukan artinya hafalan itu tidak penting. Dan tidak ada nilainya. Akan tetapi hafalan itu hanya sebatas file untuk menyimpan sebuah maklumat dan informasi yang nantinya bisa dimanfaatkan dan diolah. Hafalan itu bukan “tujuan” secara dzatnya akan tetapi dia adalah “perantara” untuk sebuah hal lain (al-Hifdzu laisa maqshudan lidzaatihi wa innama huwa wasiilatun ila ghairihi).

            Kesalahan yang banyak dilakukan orang muslim adalah perhatian yang sangat besar terhadap hafalan dibanding pemahaman, dan tidak adil dalam memberikan porsinya”            Karena itu, jika saat ini banyak dana diberikan kepada para penghafal al-Quran, maka sepatutnya, hal-hal itu juga diberlakukan bagi mereka yang memahami al-Quran secara pemahaman, baik dari ilmu bahasanya, ilmu fikihnya, ilmu qurannya dan lain sebagainya. Inilah yang dimaksud oleh al-Qaradhawi tentang porsi yang proporsional.

            Pada intinya hafalan al-Quran itu bukan stasiun terakhir dari sebuah pembelajaran. Jika seorang menghafal al-Quran maka tugas selanjutnya lebih banyak. Sebab, sebagaimana kata Syekh al-Qaradhawi,  ia bukan tujuan utama,  melainkan perantara untuk sebuah pencapaian selanjutnya. Wallaahu a’lam bish-shawab. (Depok, 26 Juni 2025).

 

 

 

 

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait